Konsep manusia merupakan isu yang sangat sentral dan menjadi subjek besar yang melibatkan berbagai macam disiplin keilmuan. Manusia dengan segala kompleksitasnya telah menguras, menyita dan mencuri waktu setiap pemikir yang mencoba menyingkap hakikatnya. Ada beragam perspektif yang dilayangkan perihal manusia dengan berbagai macam sudut pandang beserta argumen-argumennya. Hal ini telah menjadi semacam hukum hidup bagi manusia yang terkonstruksi secara alamiah. Bahwa manusia senantiasa berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidupnya.
Apa itu manusia dan apa tujuannya beserta sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya menjadi hal-hal yang selama ini mengganggu pikiran manusia itu sendiri. sehingga terkadang kegagalan manusia dalam menjawab persoalan ini dapat berakibat fatal terhadap diri dan kehidupannya. Kita melihat bahwa terkadang konsekuensi dari kegagalan ini cukup sering kali menjadikan Agama sebagai tempat pelarian dan Tuhan menjadi objek sandarannya. Inilah kenyataan dari sejarah manusia yang kemudian sering dijadikan legitimasi atas kebenaran konsep "Fitrah" dalam Agama, bahwa manusia sejak lahirnya telah membawa kecenderungan-kecenderungan demikian. Karena alasan inilah terkadang memaksa manusia harus dan mesti beragama serta mematuhi secara totalitas aturan-aturannya tanpa terlebih dahulu mengetahui apa itu Agama dan memahami konsep ke-Tuhan-an dengan benar.
Auguste Comte (1789-1857) yang mendapat gelar sebagai "Bapak Positivisme", dari refleksinya mengenai sejarah manusia, ia mencoba mengkonstruksi suatu gagasan mengenai corak dan warna pikiran manusia. menurutnya bahwa apa yang menjadi tipikal pikiran manusia bukanlah menjadi suatu kenyataan historis belaka melainkan sebagaimana adanya manusia adalah demikian. Maksudnya perkembangan pola pikir manusia itu senantiasa berkembang secara paralel dan tertata seiring perkembangan manusia itu sendiri.
Berikut tahapan perkembangan pikiran dan pengetahuan manusia menurut Auguste Comte;
1.Tahapan Teologis
2.Tahapan Metafisik
3.Tahapan Positif
Pengkategorian ini sangat relevan dengan perkembangan dan periodisasi zaman dalam aspek historisnya. Comte sendiri adalah seorang filsuf yang beranggapan bahwa "Agama itu lahir dari kebodohan", dan ini yang menjadi salah satu spirit dari klasifikasi perkembangan pemikiran manusia. Manusia tradisional adalah manusia yang bersandar pada Agama dan Tuhan atau anggaplah sesuatu yang Maha Besar nan Agung itu karena ketidakmampuan mereka dalam menjawab fenomena-fenomena Alam yang senantiasa berubah dan terjadi secara kebetulan itu. Manusia tradisional melihat gejala-gejala alam, seperti; Tsunami, Gempa Bumi dan lainnya, sebagai fenomena atau kejadian tak bersebab. Sehingga mereka mulai mengandaikan dan mengimajinasikan sesuatu yang maha besar dan ada diluar sana yang mengendalikannya dan sekaligus mengimaninya sebagai sesuatu yang real.
Dari penjelasan di atas ada dua kesimpulan yang dapat ditarik, pertama ; Agama secara luas, sebagaimana definisinya adalah "tidak kacau" sehingga dianggap menawarkan kejelasan mengenai kegelisahan-kegelisahan manusia dan menuntunnya menuju puncak kebahagiaan yang hakiki. Kedua ; Manusia mulai berpegang pada Sains sebagai Ilmu yang pasti dan Ilmiah Karena metode eksperimental dan observasi yang ditawarkannya. Karena dalam "tahap Positif" yang dimaksud ialah fokusitas kontemplasi manusia bukan lagi pada sesuatu yang diluar fakta akan tetapi pada kenyataan real dan faktual dengan hukum-hukum umum pengetahuan.
Lantas dengan demikian, Apakah manusia benar-benar terselesaikan masalahnya dan merasakan semua persoalan hidupnya telah dijawab, baik oleh Agama maupun Sains. Bukankah Agama hari ini menjadi salah satu gejala dan penyebab utama atas konflik-konflik yang terjadi dewasa ini. Takfirisme, radikalisme dan konservatisme Agama, bukankah suatu pecahan-pecahan kecil yang Lahir dari paham-paham keberagaman. Apakah Sains hari ini benar-benar telah merepresentasikan sebagai sebuah Ilmu yang mampu menawarkan kebahagiaan pada manusia dan mampu menggaransikannya. Bukankah Sains hari ini dengan perkembangan pesatnya hanya membuat ketakutan dimana-mana. Bukankah sifat dekonstruksi dari krisis perang, ekologis, ekonomi hingga mengantarkan kita pada sebuah krisis yang maha besar yakni krisis moral atau kemanusiaan, apakah bukan merupakan indikasi-indikasinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa baik Sains maupun Agama keduanya sama-sama "Gagal" dalam konteks menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia. Lalu, kepada apa dan siapa manusia hendak bersandar jika Agama dan Sains sendiri tidak bisa dijadikan pegangan.
Inilah yang menjadi inti dari tulisan ini, saya memberanikan diri dalam mengambil suatu keputusan bahwa keduanya gagal ialah karena kedua "makhluk" ini yakni Agama dan Sains rentan dijadikan alat eksploitasi dalam makna yang seluas-luasnya dan pada saat yang bersamaan menjadi legitimasi atas kezaliman tersebut. Terlebih lagi Agama, terkadang manusia di berikan kewajiban untuk menindas dan bahkan menghilangkan nyawa orang dan dianggap sebagai kebenaran dan jihad jika hal itu mengatasnamakan Agama. Bukankah ini sangatlah ironis dan paradoks. Lalu apa yang bisa menjamin bahwa manusia akan benar-benar hidup dalam ketenangan sebagaimana mestinya.