Lihat ke Halaman Asli

Pakde Amin

Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Humor Sufi: Mencari Mahkota Puasa (2)

Diperbarui: 17 April 2022   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sebuah geguritan jawa yang menjadi nasehat orang tua mengawali tulisan humor sufi mencari mahkota puasa (2).  "Lir ilir tandure wus sumilir tak ijo royo-royo- tak sungguhke penganten anyar.  Cah angon-cah angon penekne  blimbing kuwi - lunyu-lunyu penekne kanggo mbasuh dodot iro... ".  Potongan lirik lagu yang memiliki makna yang dalam sebagai nasehat diri agar mampu sukses dalam perjalanan dalam kehidupan di dunia ini.

Sebagai diri manusia yang digambarkan seperti pengantin baru dan pasti akan memiliki motivasi positif  dan membara untuk mengisi kehidupan baru.  Namun bukan hal yang mudah dalam menjalani kehidupan baru tersebut.  Hal ini seperti diri yang dihidupkan di dunia ini agar mampu melakukan perbuatan yang baik untuk mengisi dan menyiapkan bekal yang akan di bawa menghadap Sang Pencipta.

Bulan puasa di ibaratkan merupakan masa tanam yang tepat karena musim yang pas untuk melakukan dan menyiapkan bekal diri menghadap kepada Sang Kekasih.  Manusia yang bisa menanam adalah diri yang memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut.  Namun ketika diri tak memiliki pemahaman akan mengakibatkan diri tak mampu menanam atau malah salam dalam menanam tanaman yang ada dan akan mengakibatkan gagal untuk mendapatkan panenan yang diharapkan sebagai bekal nanti.

Kesadaran diri ketika sudah mendapatkan motivasi positif akan meningkatkan semangat untuk memasuki dan menjalani aktivitas di bulan Puasa.  Peningkatan semangat ini ibarat sebuah nyala api lilin sebagai penerangan kecil yang masih membutuhkan hal lain yang harus diusahakan agar diri dapat menjaga nyala dan menjadi terang dalam menemani perjalanan di aktivitas bulan puasa.  Jika diri tak memahaminya maka bisa juga ditengah perjalanan api semangat itu akan padam dan mengakibatkan diri tak mampu meneruskan langkah untuk mencari dan menerima mahkota puasa yang menjadi dambaan setiap orang yang beriman.

Fenomena banyaknya diri yang tak mampu menjaga nyala api tersebut banyak terjadi tidak hanya terjadi di masa-masa sekarang.  Banyak cerita bukti sejarah yang tertulis di Buku Panduan yang menyatakan tidak sedikit dari diri kita yang menjalankan ibadah puasa hanya mendapatkan kelelahan jasmani (lapar dan dahaga) karena kurangnya diri konsisten dalam menjaga motivasi positif tersebut.

Godaan kehidupan sehari-hari terasa sangat berat terlebih diri dalam kondisi yang tidak biasa akibat dari perut yang kosong dan kondisi yang dibatasi dengan aturan yang ada.   Ketika motivasi positif sudah dimiliki namun dalam kenyataan diri kita hidup tak memiliki pegangan akan mengakibatkan diri mudah jatuh atau tersesat karena terbujuk oleh faktor eksternal yang menggoda  perut akibat rangsangan dari input (mata, telinga, dan mulut). Rangsangan eksternal ini akan menggoyahkan indra diri (pikir, perasaan dan perut) jika diri tak memiliki pemahaman tentang kehidupan. 

Kekosongan pemahaman atau keyakinan diri akibat dari tak memiliki pijakan atau pegangan yang kuat maka hal itu bukanlah hal aneh terjadi.  Bahkan keinginan perut bisa dikendalikan namun godaan lain tak kuat untuk ditinggalkan karena lemahnya pemahaman tentang kontrol diri yang tak pernah dipahami makna dan hakekatnya.  Inilah hal yang lumrah di alami oleh diri manusia dalam menjalani ibadah puasa.

Ibarat gambaran perjalanan diri digambarkan oleh para orang tua seperti naik ke pohon belimbing untuk memanen buahnya. Karena pada saat itu diri manusia diperintahkan untuk menggantikan pakaian jasmani dengan pakaian rohani agar menyatu menjadi satu kesatuan pakaian yang dipakai dalam kehidupan di dunia ini.

Namun perintah memanen buah ini adalah bukan sekedar memanjat dengan kemudahan, akan tetapi dalam kondisi yang tidak ideal karena posisi hujan dan licin.  Gambaran inilah yang menunjukkan sulitnya untuk menjalani kehidupan di dunia.  Diri manusia yang berhasil adalah diri yang memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat tentang kehidupan.  Pemahaman tentang kehidupan inilah digambarkan sebagai satu kesatuan antara jasmani dan rohani dalam bentuk pakaian kehidupan manusia.

Mencari Pakaian diri

Pakaian diri manusia dalam kehidupan di dunia ini bukanlah seperti yang digambarkan oleh mata manusia.  Ketika ini terjadi maka tidaklah aneh jika diri sekarang ini berlomba-lomba mencari pakaian yang bagus baik dengan menciptakan atau meniru gaya orang lain agar dikatakan sebagai golongannya.  Padahal ketika diri hanya berpikir seperti ini tidaklah mungkin menemukan pakaian yang pas untuk dipakai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline