Lihat ke Halaman Asli

Pakde Amin

Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Suwung

Diperbarui: 7 Oktober 2021   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika diri kita mendengar kata "suwung" otomatis dalam benak akan terpusat pada pemahaman kata "kosong".  Namun banyak makna yang terlintas ketika kata itu diikuti dengan kata dibelakangnya.  

Ketika kata suwung dihubungkan dengan sebuah kata rumah maka diartikan sebagai sebuah rumah yang tidak ada penghuninya. Kajian tentang suwung kali ini bukan dihubungkan dengan kata benda melainkan jika kita hubungkan dengan kondisi diri sebagai seorang manusia.

Secara umum diri manusia adalah terdiri dari dua elemen yaitu naluri dan nurani.  Elemen yang ada dalam diri ini seharusnya digunakan secara bersama dan tidak ada yang dominan dalam penggunaan, inilah yang disebut dengan keseimbangan kehidupan.  

Ketika diri tidak seimbang dalam menggunakan dua elemen tersebut maka akan berdampak pada ketidak harmonisan kehidupan diri yang kemungkinan bisa berdampak pada manusia lain yang berada dalam lingkungan diri. Sehingga akan berdampak diri menjadi subyek atau obyek untuk lingkungan orang dan masyarakat di sekitar kita.

Sebagai subyek ini berarti bahwa diri menjadi suwung yang bermakna diri lebih dominan kekuatan naluri yang ada.  Seperti kita ketahui naluri adalah merupakan perbuatan diri yang dilakukan akibat dari dorongan hati atau nafsu yang didasarkan untuk mempertahankan eksistensi hidup. 

Dampak dari diri yang hanya mengandalkan pada hati atau nafsu ini mengakibatkan perilaku diri tidak dalam keseimbangan karena tidak menggunakan indra yang lengkap seperti yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada semua manusia (Indra Manusia).   

Ketika hal ini terjadi maka dominasi ego diri untuk menunjukkan eksistensi akan menjadi tujuan utama tanpa memperhatikan posisi dan kondisi orang lain yang ada disekitar kita.  

Sebuah kerugian diri jika kita hidup dalam kondisi yang tidak seimbang seperti ini karena kehidupan diri hanya tertuju pada titik kepuasan diri untuk eksistensi kehidupan di dunia ini.

Sebagai obyek ini berarti bahwa diri mengalami suwung karena diri memang dalam kondisi yang tidak bisa dan memiliki kemampuan apapun baik dari segi naluri.  

Karena diri hanya selalu menggunakan hati/rasa (karena bukan qolb).  Hal ini berakibat diri selalu memiliki rasa was-was/curiga/kekhawatiran sebelum melakukan aktivitas dalam kehidupan. 

Maka dampaknya diri selalu terlambat dalam semua tindakan atau keputusan yang diambil. Eksistensi dalam kehidupan akan menjadikan diri selalu menjadi obyek dari orang lain akibat diri kalah sebelum berperang.  Dan mungkin diri sering dianggap diri yang suwung yang perlu di bawa ke dokter untuk diperiksa.    

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline