Lihat ke Halaman Asli

Pilkada, Serentak Kok Sepi

Diperbarui: 1 Desember 2015   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada serentak sepi, hal itulah yang resahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Rapat Koordinasi Nasional Pemantapan Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015 di Eco-Park Ancol, Jakarta Utara, Kamis (12/11/2015). “Kok saya merasakan pilkada serentak sepi ya? Setiap minggu saya turun ke daerah-daerah saya kok merasakan kurang bergairah gitu ya. Pemilu itukan pesta, ya seharusnya terlihat suasana pestanya. Semoga tenang ini karena aman.” Ungkap presiden.

Hal tersebut juga mengemuka dalam diskusi publik dengan tema “Dukungan Masyarakat Menjamin Suksesnya Pilkada Serentak” yang diselengarakan di studio TVRI Jawa Tengah pada Selasa (17/11) dari pukul 18-19 WIB. Diskusi ini menghadirkan Joko Purnomo, Ketua KPU Jateng, AKBP Mohamad Toha dari POLDA Jateng, dan Dr Muhdi SH MHum, rektor Universitas PGRI Semarang.

Seorang penanya bernama Jumari menyatakan bahwa keenggananya mengikuti proses pemilu karena calon diangkat oleh partai, sementara dirinya sudah tidak percaya dengan partai. “Beda kalau calon independen Pak.” Keengganan untuk mendukung calon dari partai karena beberapa hal, salah satunya adalah ketakutan nantinya sang calon setalah jadi kepala daerah akan menjadi boneka partai. Ia tidak hadir mewakili kepentingan rakyat tetapi lebih tunduk terhadap kepentingan partai politik yang mengusungnya. Penanya lain, Sugiyarto ia tidak melihat kegairahan masyarakat menyambut pilkada serentak yang tinggal menghitung hari ini. Tidak seperti pemilu presiden kemarin, semua orang dimanapun, di warung, diangkutan umum semua antusias mengobrolkan pemilu, kali ini pada pilkada serentak ini hal serupa tidak dapat ditemui.

Muhdi menyatakan hal serupa. Menurutnya pemilu kali ini sepi. Sepi bisa diartikan kurangnya gairah namun juga bisa menandakan bahwa pilkada kali ini aman, masyarakat sudah enggan untuk ribut dan bertengkar. Menurut Muhdi banyak faktor yang mempengaruhi sebuah pesta demokrasi itu sepi atau tidak bergairah. Pertama adalah menarik tidaknya figur yang diusung, figur calon yang menjadi kepala daerah turut menentukan bergairah dan tidak bergairahnya sebuah pemilu. Sayangnya figur-figur yang ‘mungkin’ menarik itu tidak hadir sebagai calon dengan berbagai alasan. Bisa saja karena biaya politik mahal. Seorang calon harus memberi mahar politik terlebih dahulu kepada partai pengusung, sebab lain karena figur-figur yang berkualitas tidak memilki minat untuk mencalonkan diri.

Partai bukan kendaraan politik

Harusnya calon yang dipinang oleh partai bukan seperti sekarang ini calon yang mendaftar kepada partai. Ketika para calon yang mendaftar kepada partai konsekuensinya adalah munculnya mahar-mahar politik karena para calon itu dianggap lebih berkepentingan untuk mencalonkan diri. Kalau partai yang meminang figur maka mengindikasikan bahwa partai tersebut memiliki seperangkat alat, seperangkat visi yang diperjuangkan untuk memilih calon kepala daerah sesuai dengan visi perjuangan partainya. Partai hadir secara ideologis tidak hanya sebagai ‘kendaraan’ politik belaka.

Suksesnya pemilu presiden satu tahun yang lalu ditandai dengan tingginya partisipasi masyarakat yang memilih tidak lain karena menariknya tokoh yang menjadi calon presiden. Kedua calon presiden kita pada waktu itu mampu menggerakkan masyarakat untuk berbuat, mampu membuat isu yang selalu layak diberitakan oleh media.

Pemilu beserta calonya bisa diilustrasikan dengan tunamen sepak bola atau kejuaraan balam motor Moto GP yang ramai beberapa minggu yang lalu. Bila piala dunia tidak dikuti oleh negara Spanyol, Argentina, Ingirs, Italia maka turnamen terbesar sejagat tersebut juga tidak akan mengundang kegairahan penonton, sama halnya jika Moto GP yang tidak dikuti oleh Rossi dan Lorenzo misalnya.

Ciri adanya kegairahan adalah adanya kraativitas yang muncul dari anak-anak muda. Pada pemilu presiden kemarin banyak kraativitas yang mencul seperti gambar kartun, meme, lagu yang menyebar di media online sebagai dukungan terhadap para calon. Kemudian mencul pertanyaan, apakah tidak munculnya kraativitas anak muda yang memenuhi dinding-dinding media sosial karena ketakutan akan ancaman Surat Edaran dari kepolisian tentang Ujaran Kebencian?

Joko Purnomo membantah jika pilkada kali ini sepi. Menurut pemantauannya bersama tim pilkada kali ini ramai dan bergairah. Hanya saja karena dilakukan secara serentak maka antar daerah tidak bisa saling melirik. Saat ini menurutnya para calon lebih banyak turun ke kampung melakukan dialog dengan pemilih, rapat umum hanya dijadwalkan sekali saja. Selama ini yang disebut ramai adalah banyaknya gambar yang ditempel di kiri-kanan jalan, banyaknya para pendukung yang melintas, dan iklan para calon di media. Hal tersebut sekarang diminimalkan. Pemasangan gambar calon tidak bisa sembarangan, iklan di media juga disediakan waktu tertentu. Para calon didorong untuk terjun berdialog dengan warga.

Hal inilah yang membuat pemilu kepala daerah kali ini ‘terkesan’ sepi. Sepi dan bergairah tergantung kepada berapa yang berpartisipasi menjadi pemilih nanti. Kita berharap masyarakat tidak bosan untuk memilih calon yang terbaik untuk kota atau kabupatennya. Karena salah memilih resikonya lima tahun kedepan. Dan saya setuju dengan uangkapan Pak Joko Purnomo: “Memilih adalah salah satu wujud bela negara.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline