Lihat ke Halaman Asli

Implementasi Kerukunan Beragama di Indonesia

Diperbarui: 1 Maret 2016   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Indonesia Adalah Negara Majemuk (Pluralisme)

Maksud dari "pluralisme" adalah suatu paham atau pandangan hidup yang menerima dan mengakui adanya macam atau keanekaragaman dan perbedaan dalam suatu kelompok masyarakat. Misalnya dilihat dari segi agama, ras, suku dan adat-istiadat. Hal inilah yang menjadi dasar pembentukan karakter sosial yang lebih kecil, namun khas, serta yang membedakan kelompok yang satu dengan yang lain dalam suatu kelompok masyarakat yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, artinya terdiri dari berbagai kelompok, suku budaya, adat-istiadat, ras dan agama.

Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, namun bukan berarti menyamaratakan, tetapi mengakui bahwa ada hal yang berbeda, didalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan. Pluralism berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran).

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kesadaran bertoleransi agama sangat dibutuhkan di setiap elemen masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia, dari berbagai macam suku bangsa, adat budaya, ras dan agama yang berbeda-beda kita bisa menciptakan dan membina kerukunan yang menjadikan kekuatan tak terbantahkan yang hanya dimiliki Indonesia.  "Bhineka Tunggal Ika " menjadi landasan yang kokoh dan menjadikan indonesia dikenal dimata dunia sebagai negara yang majemuk namun memiliki persatuan dan kesatuan yang melekat kuat.

Dengan demikian agama juga menjadi salah satu kekayaan bangsa yang diakui oleh internasional karena tidak semua negara memiliki perbedaan yang kompleks dan mampu menyelaraskan kerukunan dan persamaan sudut pandang sehingga menciptakan inner power yang dimiliki Bangsa Indonesia. Secara faktual dan historis, manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara individual maupun secara kelompok. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan akan tetap melekat erat dengan kehidupan bersosial dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dari kemanusiaan.

Agama Sebagai Landasan Bangsa

Dari beberapa agama besar yang masuk dan menyebar pesat melalui rentang waktu yang cukup lama, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama dimana unsur keagamaan tak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat bahkan bernegara. Salah satu bukti kongkrit didalam proses perumusan Pancasila &  UUD 1945 banyak terinspirasi dari aspirasi keagamaan.

Dilihat sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda dapat saling menghargai atau menghormati, saling membutuhkan dan saling mengasihi serta memperkuat nilai-nilai persaudaraan. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi untuk dijadikan sebagai penguat dan pemurni keanekaragaman hayati. Penganut agama yang berbeda mestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai, bersatu padu, bertoleransi, saling membantu dan saling menghargai.

Potensi keharmonisan tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam suasana hidup kekeluargaan dan hidup bergotong royong. Didalam sejarah bangsa Indonesia hubungan kerjasama antar pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling tolong-menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam membangun bangsa dan negara.

Pemicu Konflik yang Bersifat Keagamaan 

Salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan beragama adalah akibat politik pecah belah (devide et impera) peninggalan masa penjajahan. Dalam kasus politik tersebut penjajah memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuh kembangkan atau mempertajam konflik-konflik sebagai bahan propaganda dan adu domba bagi bangsa Indonesia pada saat itu.

Kebiasaan tersebut terbawa hingga sekarang dan digunakan oleh oknum tak bertanggung jawab sebagai senjata utama untuk memecah belah kesatuan dan persatuan, biasanya demi mengincar status politik atau tujuan tertentu. Gejala-gejala perselisihan antar umat beragama muncul ke permukaan sekitar akhir tahun 1960-an. Di antaranya adalah kasus perusakan tempat-tempat ibadah. Perilaku tidak sehat ini mengakibatkan terjadinya disintegrasi dan perselisihan bahkan benturan fisik.

Dari beberapa pengamatan, berikut hal-hal yang memiliki potensi besar terjadinya konflik SARA antara lain:

  1. Salah memahami makna dari perbedaan, tidak resapi secara baik dan positif  dalam konteks kemajemukan.
  2. Fanatisme yang keliru. Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau “menang sendiri” dan tidak mau menghargai.
  3. Umat beragama yang over fanatik (negatif) dan yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya :
  • kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya;
  • kurang matang iman dan takwanya;
  • tidak paham tentang toleransi beragama;
  • tidak memahami dan menghargai hakekat hak manusia;
  • tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, terutama hati nurani dan cinta kasih;
  • kurang memahami wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia, yaitu kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline