Pemilihan Umum serentak di seluruh Indonesia telah usai dilaksanakan (18/4/2019). Seperti yang lalu-lalu, lembaga survey berlomba-lomba memamerkan identitasnya sebagai lembaga yang paling kridibel dan independen meskipun menjadi bahan tertawaan publik. Bedanya, sekarang indikasi kecurangan sangat dapat terlihat.
Saya teringat ketika zaman dahulu, ketika lembaga survey masih dalam masa independensinya, mereka menampilkan hasil rekapitulasi tiap-tiap daerah di Indonesia. Sekarang, tak ada yang tahu pasti darimana angka-angka tersebut diperoleh. Angka tersebut seketika saja muncul sebagai angka mutlak. Perhitungan tiap daerah dan pulau sudah lenyap dari lembaga survey yang katanya independen.
Sudahlah, tak ada habisnya jika berbicara independen. Lagipula, itu hanya dugaan belaka. Tak ada dasarnya. Seperti angka-angka yang ditampilkan lembaga survey.
Saya lebih ingin membuka kembali pikiran umat manusia yang sedikit tertutupi oleh gelimang dunia. Sebenarnya saya lebih kerucutkan kepada umat Islam, saudara seagama saya. Bahwa dibalik Pemilihan Umum ini, sebenarnya terdapat tujuan yang lebih luas daripada sebatas menentukan pemimpin negara.
Ada harapan besar umat Islam di balik semua ini. Terhadap aksi-aksi yang mengantarkan kita kepada pemilihan ini, terhadap demonstrasi-demonstrasi yang dilancarkan, dan terhadap pembelaan-pembelaan ulama yang dikriminalisasi. Semua kita lakukan hanya untuk memastikan bahwa umat Islam aman dan damai untuk hidup di Indonesia, di negeri jutaan muslim beranak pinak.
Mari mengingat kembali ketika terjadi beberapa pengusiran ulama di berbagai wilayah, reinkarnasi PKI, tentang puisi Sukmawati, penyiraman Novel Baswedan, dan rentetan kasus lainnya, yang memicu kemarahan umat muslim di berbagai wilayah di Indonesia. Jika anda berpikir bahwa itu hanya kebetulan, silahkan. Saya juga tak menuntut untuk sependapat.
Pembaca yang terhormat, sekularisme adalah suatu paham yang berusaha membedakan antara kehidupan dunia dan kepercayaan agama. Hal ini menjadi fokus saya dalam tulisan ini berkenaan dengan hasil hitung cepat yang pada umumnya memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Bukan karena Jokowi-Ma'ruf adalah orang yang buruk, tetapi gaya kepemimpinan yang rapuh dan mudah goyah merupakan makanan dan sasaran empuk bagi orang-orang yang selama ini membayangi beliau.
Saya teringat akan suatu strategi atau cara melumpuhkan organisasi. "Usunglah orang terlemah di antara kamu, mainkan opini agar beliau dapat di tokohkan oleh masyarakat. Dan ketika dia naik, maka kamu dapat memainkannya dengan sesuka hati".
Indonesia dengan dinamika nasional dan religiusnya selalu terselesaikan dengan baik oleh seorang ulama. Dapat kita saksikan, betapa eksisnya nama-nama seperti Ustaz Abdul Somad, Ustad Adi Hidayat, Ustaz Zulkarnain, Ustaz Bachtiar Nashir dan banyak ulama lainnya. Di Youtube dan media sosial lainnya hampir dikuasai oleh dakwah-dakwah kultural beliau dengan rating bintang lima dan ditonton jutaan manusia.
Ini yang mesti kita garis bawahi, bahwa ternyata jutaan penonton tersebut hanyalah fatamorgana yang hilang seiring kita mengejarnya. Mereka berbondong-bondong dalam menimba ilmu agama kepada beliau di atas, namun ketika dalam ranah memilih pemimpin, maka kebanyakan dari kita berbondong-bondong menjauhinya. Inilah sekularisme yang saya maksudkan.
Semestinya, jika ingin menghitung jumlah suara pada Pemilihan Umum, maka angka-angka viewers, subscriber dan jumlah Jemaah yang hadir pada pengajian ustad tersebut bisa menjadi acuan untuk menang dengan telak. Hanya saja, rupanya kita merasa sudah pintar dan cerdas dalam masalah memilih pemimpin yang baik.