"Memilih wakil presiden dengan mengedepankan rasa hormat dan segan adalah adab yang tidak disesuaikan pada tempatnya. Cermatlah dalam menilai kawan. Jika negara hancur, maka semuanya tak berarti. Dunia juga tidak peduli."
Debat cawapres 2019 kemarin begitu menarik untuk disimak. Pada malam itu, saya betul-betul bisa merasakan dan melihat dari dua perspektif yang sebenarnya kontradiktif. Dari sudut pandang pendukung pihak 01, sebenarnya mereka juga sangat meragukan kualitas calon wakil presiden yang mereka usung.
Tim pengusung sepertinya lupa bahwa dalam mekanisme debat menjelang pemilihan presiden 2019, akan ada sesi debat antara masing-masing cawapres. Terbukti dari respon Megawati beserta kawan-kawan sederetannya pada saat prosesi debat berlangsung. Kerap kali mereka tampak tegang dan tertawa kecil saat kyai yang mereka rekrut sebagai penarik suara rakyat itu salah dalam berucap. Sisi positif untuk pendukung 01 adalah bahwa ternyata KH. Ma'ruf Amin mampu menandingi dan menyelesaikan prosesi debat dengan cukup baik. Berbeda dari ekspektasi kebanyakan orang.
Pada sisi yang berbeda, mari kita rasakan gregetnya perasaan pendukung 02. Mereka tampak sangat santai dan begitu percaya diri menghadapi debat malam itu(17/3/19), seolah inilah klimaks dari pembantaian kepada pihak lawan. Mereka betul menantikan hal itu dan berpikir keras untuk memperpanjang sesi debat agar pembantaian tersebut terlihat menyenangkan.
Namun negatifnya, ternyata Sandiaga Uno tidak ingin terlalu agresif dan menahan untuk memberikan pertanyaan yang begitu menyudutkan lawan debatnya.
Begitu juga kepada tim suksesnya, Sandiaga Uno menahan mereka dari sorakan penghinaan terhadap kubu sebelah yang tentunya membuat gemas. Para pendukung 02 merasa bahwa malam itulah momen yang tepat untuk meluapkan keresahan mereka terhadap kesabaran dari serangan yang selama ini mereka rasakan, yang diduga dari pihak 01.
Kira-kira seperti itu analisa positif dan negatif, suka dan duka dari kedua kubu yang mewarnai debat cawapres 2019 yang berlokasi di Hotel Sultan, Jakarta.
Sebagai manusia yang berakal, saya terbayang catatan kecil sehabis menonton cuplikan debat. Saya sepertinya menemukan kelemahan dan salah satu penyebab dari kemunduran negara dari segi kepemimpinan. Semakin kesini, rakyat semakin geram melihat gaya kepemimpinan presiden yang terpilih, yang katanya dipilih murni karena suara rakyat.
Ternyata rakyat Indonesia menyalahi rasionalitas dalam memilih pemimpin. Sebagaimana yang kita ketahui, rakyat Indonesia dengan kearifan luhur yang dimiliki, memiliki etika yang tidak terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Menghormati kepada yang lebih tua dan faktor keseganan ternyata juga memasuki sektor pemilihan umum. Mari coba kita pikirkan kembali untuk masalah ini, betapa mirisnya apabila adab ini ditempatkan tidak pada tempatnya.
Perlu ditekankan kembali, bahwa yang dihadapi oleh rakyat ke depan adalah PEMILIHAN UMUM yang melegitimasikan dua orang untuk menahkodai lebih dari 17.000 pulau yang ada di Indonesia. Keberlangsungan Indonesia ke depan dikendalikan oleh dua orang yang terpilih secara sah melalui pemilihan umum. Apabila presiden dan wakilnya cerdas dan kuat, maka Indonesia maju tahun 2045 seperti yang diangkat pada debat kemarin adalah sebuah keniscayaan. Sebaliknya, apabila pemimpin dan wakilnya lemah, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Pembaca yang terhormat, perasaan hormat dan segan kepada seseorang sebaiknya tidaklah menjadi acuan dalam memilih pemimpin. Mari kita kedepankan rasionalitas, bahwa memilih pemimpin adalah dengan melihat kompetensi dan integritas person yang akan dipilih. Perihal iba, segan, dan hormat buanglah jauh-jauh dari aspek politik.