Dilan 1991 menjadi sebuah momen baru bagi dunia perfilman tanah air. Beberapa minggu setelah launching, Dilan 1991 dan serba serbinya masih hangat diperbincangkan di jagat sosial media. Tentunya hal ini sedikit membuat leher menjadi rileks setelah disuguhkan berita-berita politik yang lumayan menaikkan tensi. Dari yang awalnya canda tawa, tetapi berakhir dengan tawa yang mengkhianati hati.
Dilan 1991 ditayangkan serentak di seluruh Indonesia pada Kamis, 28 Februari 2019. Film ini disambut riang gembira oleh hampir seluruh remaja dan orang dewasa. Meskipun menceritakan tentang kisah cinta antara Dilan dan Milea beberapa dekade silam, nyatanya film ini memiliki daya tarik dari segi alur dan percakapan-percakapan ala sajak yang digandrungi anak muda zaman sekarang.
Berbeda dari kebanyakan, ketika berbagai kalangan sedang sibuk mengantri agar mendapatkan tiket, beberapa organisasi yang tergabung dalam sebuah aliansi justru menarik perhatian publik dengan melakukan demonstrasi untuk memboikot film Dilan 1991 (28/2/2019).
Hal ini tentunya mengejutkan berbagai kalangan. Pasalnya, bukan hanya dari segi ide gagasan, namun juga dari tempat pelaksanaan unjuk rasa tersebut. Demonstrasi di dalam mal adalah hal yang tabu bagi mahasiswa, terlebih lagi masyarakat. Dari perspektif hukum, penyampaian aspirasi di area mal tentunya melanggar aturan. Ini diakibatkan karena mal merupakan wilayah privat.
Dalam tuntutannya, mahasiswa Aliansi Komando Mahasiswa Merah Putih (KOMPI) menuntut pemblokiran terhadap film Dilan karena dianggap merusak moral generasi muda. Apalagi target penontonnya adalah remaja yang masih labil.
Lebih lanjut, mereka memprotes adegan pelecehan terhadap guru, begitu juga Dilan yang berkendara tanpa menggunakan helm di dalam film tersebut. Setelah mempertimbangkan hal tersebut, maka kelompok mahasiswa tersebut mendatangi area XXI Mall Panakukang, Makassar. Mereka memaksa menerobos petugas keamanan untuk melarang pemutaran film tersebut, juga mencoba menarik keluar (membebaskan) remaja yang sedang asyik menonton.
Sejujurnya, saya ingin berkomentar mengenai benar atau tidak, dampak baik dan buruk tentang film Dilan 1991 ini. Namun kiranya terlampau panjang untuk menuliskan pertimbangan tentang hal itu. Maka terlepas dari mendidik atau tidaknya film tersebut, saya ingin berkomentar mengenai demonstrasi kemarin.
Pembaca sekalian, mahasiswa adalah orang-orang yang sedang berusaha untuk berproses. Mencari berbagai cara agar menjadi lebih berarti, lebih terkenal ataupun menjadi sorotan publik. Kemudian masuklah mahasiswa tersebut ke jalur organisasi yang dianggap mampu membesarkan namanya dan meningkatkan soft skill agar lebih berwibawa.
Dari kejadian kemarin, saya menangkap bahwa ada upaya seperti itu dibalik kritis dan keberanian mahasiswa tersebut. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk lebih menunjukkan eksistensi diri dan organisasi. Trik seperti ini adalah trik yang sering digunakan oleh partai untuk membuat namanya eksis dan menjadi buah bibir. Cukup banyak partai yang mermazhab seperti ini.
Mereka tak peduli bahwa apa yang dilakukan menuai respon positif ataupun sebaliknya. Argumentasi dari ide untuk berunjuk rasa masih sangat mentah juga solving dari problemnya juga masih belum terpikirkan dengan baik untuk mendapat jempol dari masyarakat, apalagi untuk penonton film Dilan 1991 yang mencapai jutaan orang. Dari argumen yang masih lemah, kemudian didukung oleh totalitas mereka sehingga melakukan unjuk rasa di dalam mal membuat pergerakannya menjadi sangat lugu apabila ingin dikatakan kritis.
Yang ada, pergerakan mereka menjadi bahan cemoohan ribuan orang. Atas dasar ketimpangan yang ada, maka saya semakin yakin bahwa protes tersebut tidak didasari oleh keinginan yang baik untuk betul mengubah Indonesia dan industri film menjadi lebih baik.