Lihat ke Halaman Asli

Muh Afit Khomsani

Netfid Indonesia

Pemecatan Ketua KPU RI, Alarm bagi Sekretariat dan Penyelenggara Pemilu

Diperbarui: 17 Juli 2024   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pencopotan KPU Hasyim Asy'ari dari keanggotaan KPU RI sejatinya bukan hal yang mengejutkan publik. Pasalnya, eks Ketua KPU tersebut sebelumnya telah beberapa kali disanksi peringatan (termasuk peringatan keras) oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

Beberapa di antaranya adalah melakukan perjalanan dinas dengan "Wanita Emas", kebocoran data pemilih dalam Pemilu 2024, aturan jumlah Caleg Perempuan, Peraturan KPU tentang Pencalonan Presiden-Wakil Presiden, serta pelaporan Calon Anggota DPD Dapil Sumatera Barat Irman Gusman. Seakan tidak pernah kapok, pimpinan lembaga tinggi negara seperti Hasyim pun terjeremus pada perkara yang hampir sama, perilaku yang tidak sepantasnya dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.

Bagaikan fenomena gunung es, perkara teranyar yang melibatkan Hasyim tersebut hanya merupakan ujung kecil dari tumpukan permasalahan pelanggaran etik yang banyak dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di Indonesia. Mengutip Laporan Kinerja DKPP, penulis mencatat bahwa tahun 2017-2022 terdapat 1188 Putusan perkara pelanggaran kode etik yang melibatkan 4.850 orang dari unsur sekretariat dan penyelenggara Pemilu dengan variasi pokok aduan, baik teknis maupun non-teknis penyelenggaraan Pemilu.

Terbaru, data DKPP menyebutkan sebanyak 515 teradu yang diputus DKPP Tahun 2023. Profesionalitas dan berkepastian hukum mendominasi prinsip yang banyak dilanggar pada periode tahun tersebut. Lainnya, merujuk pada variasi pokok aduan, sebaran putusan DKPP meliputi kelalaian pada proses Pemilu 58 teradu, tidak melaksanakan tugas/wewenang sebanyak 32 teradu, pelanggaran hukum 28 teradu, konflik kepentingan 26 teradu, dan perlakukan tidak adil 23 teradu.

Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Peraturan tentang kode etik penyelenggara Pemilu merupakan prinsip utama yang harus dipegang dan menjadi pedoman bagi penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugasnya. Merujuk pada Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Kode Etik tersebut merupakan implementasi dari nilai dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila, UU Dasar 1945, asas Pemilu, serta prinsip penyelenggara Pemilu. Tidak hanya itu, kode etik penyelenggara Pemilu bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh penyelenggara Pemilu serta jajaran sekretariat KPU dan Bawaslu di semua tingkatan.

Baik penyelenggara Pemilu maupun jajaran sekretariat, mereka berkewajiban untuk menjaga integritas dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemilu. Integritas merujuk pada prinsip jujur, mandiri, adil, dan akuntabel; sedangkan profesionalitas berpedoman pada prinsip berkepastian hukum, aksesibilitas, tertib, terbuka, proporsional, profesional, efektif, efisien, dan mendahulukan kepentingan umum. Lantas bagaimana dengan komitmen penyelenggara Pemilu terhadap kode etik jika jumlah pelanggaran kode etik terus tinggi? Bagaimana publik bisa percaya terhadap proses penyelenggaraan Pemilu jika penyelenggara Pemilu kita terus bermasalah?

Peran Penting Penyelenggara Pemilu

Jika kita merujuk pada banyak literatur yang ada, Electoral Management Bodies (EMBs) atau institusi penyelenggara Pemilu memainkan peran penting dalam mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Dalam beberapa studinya, International IDEA menjelaskan bahwa profesionalitas dan integritas penyelenggara Pemilu menjadi kunci dalam penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas baik. 

Dalam the Political Consequences of Electoral Laws, Douglas W. Rae (1967) menekankan bahwa Pemilu dapat dilihat sebagai dua hal yang berbeda, yaitu electoral laws atau hukum Pemilu dan electoral process atau proses Pemilu. Electoral laws merujuk pada tata kelola atau regulasi yang mengatur kaitannya dengan konversi suara menjadi distribusi kekuasaan bagi para peserta Pemilu. 

Aspek tersebut mencakup sistem Pemilu, asas Pemilu, dan keorganisasian Pemilu. Sedangkan electoral process merupakan cara atau mekanisme dalam teknis Pemilu seperti pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, penyelenggara Pemilu merupakan bagian tak terpisahkan dari dua hal di atas. Tidak hanya menjadi pelaksana Pemilu, para penyelenggara Pemilu berkewajiban untuk menjaga integritas elektoral melalui penegakan hukum Pemilu yang jujur dan adil. 

Artinya, indikator keberhasilan pelaksanaan Pemilu tidak hanya merujuk pada kelancaran teknis penyelenggaraan dan melahirkan kandidat terpilih, akan tetapi juga penghormatan dan kepatuhan terhadap prinsip hukum, asas, serta nilai dari Pemilu itu sendiri. Oleh karena itu, adanya penyelenggara Pemilu yang profesional dan berintegritas adalah sebuah keharusan.

Lampu Kuning bagi Sekretariat dan Penyelenggara Pemilu

Kaitannya topik dalam tulisan ini, nampaknya menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih lanjut Putusan DKPP RI Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 tentang pelanggaran kode etik yang melibatkan Hasyim Asy'ari. Dalam pertimbangan Putusan tersebut, DKPP menggarisbawahi adanya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power dan penggunaan relasi kuasa oleh Hasyim terhadap Pengadu yang juga merupakan penyelenggara Pemilu Ad Hoc di PPLN Belanda. Abuse of power merujuk pada penggunaan fasilitas negara oleh penyelenggara negara untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan, tidak hanya penyelewengan dengan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, Hasyim sebagai ketua KPU juga terbukti menjadi aktor dalam dihapuskannya ketentuan Pasal 90 Ayat (4) Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2021 yang di dalamnya mengatur larangan bagi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melakukan perbuatan tercela, melakukan pernikahan dengan sesam penyelenggara Pemilu, melakukan pernikahan siri, dan melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kaitannya dengan penghapusan Pasal a quo, bagaimana bisa semua anggota KPU RI menyetujui Peraturan KPU yang tidak pro terhadap perlindungan dan perhormatan terhadap perempuan? Ada apa dengan semua anggota KPU RI?

Lainnya, relasi kuasa dijelaskan dengan adanya bukti pemaksaan oleh eks pimpinan KPU tersebut terhadap struktur penyelenggara Pemilu di bawahnya, yaitu PPLN Belanda. Kondisi ini tentu memberikan pertanyaan kepada kita, apakah penyelenggara Pemilu kita hari ini sudah jauh melenceng dari prinsip profesional dan berintegritas? Sehingga level pimpinan lembaga tinggi seperti KPU masih saja bermasalah dengan hal prinsipal tersebut?

Lebih dari itu, merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Pihak Terkait dalam perkara Hasyim tersebut, kemudian memunculkan pertanyaan lainnya, sejauh mana para pihak perkait sejatinya mengetahui aktivitas dan perilaku Hasyim tersebut? Apakah mereka tidak menaruh kecurigaan terhadap aktivitas Hasyim sebelumnya? Terlebih bagi kesekretariatan KPU, beberapa fasilitasi dari mereka berkaitan erat dengan aktivitas Hasyim dalam perkara tersebut.

Kritik penulis tentu juga diarahkan kepada peran kesekretariatan dalam mendukung berjalannya tugas KPU. Merujuk pada Pasal 9 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU dalam mejalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat jenderal, dan KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota masing-masih dibantu oleh sekretariat. 

Seharusnya, kesekretariatan tidak hanya sekedar membantu dan memfasilitasi tugas anggota KPU dalam penyelenggaraan Pemilu, melainkan harus menjadi mitra yang mendukung dan memperingatkan anggota KPU apabila ada tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Situasi ini tentu menjadi peringatan bagi kesekretariatan penyelenggara Pemilu di semua tingkatan di Indonesia untuk berhati-berhati dan bertugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesekretariatan tidak boleh terkesan "tunduk" atas apa saja yang dilakukan oleh komisioner KPU. Jika hal tersebut bertentangan dengan aturan, kesekretariatan harus berani menolaknya untuk kemudian meluruskannya.

Perbaikan Sistem Rekrutmen Penyelenggara Pemilu

Belajar dari kasus eks ketua KPU dan banyak pelanggaran kode etik oleh penyelenggara Pemilu, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh sistem rekrutmen penyelenggara Pemilu. Studi PUSKAPOL FISIP UI pada tahun 2019 menjelaskan bahwa seleksi KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, seperti aspek regulasi, aspek proses dan mekanisme, dan dinamika politik. Aspek regulasi merujuk variasi interpretasi baik dari Tim Seleksi maupun Tim Teknis KPU/KPU Provinsi., termasuk standar kelulusan dalam setiap tahapan seleksi. Sedangkan, aspek proses dan mekanisme adalah adanya kendala teknis dalam proses seleksi, seperti akses internet, gangguan dalam CAT, dan persyaratan administrasi yang banyak. Adanya kekuatan politik yang seringkali mengintervensi bahkan menjadi penentu dalam proses seleksi telah lama menjadi diskusi yang berkembang di masyarakat, ...anggota ini titipan siapa? Belum lagi, adanya dugaan praktik transaksional dalam seleksi penyelenggara Pemilu semakin menegaskan bahwa terdapat permasalahan dalam proses seleksi penyelenggara Pemilu di Indonesia.

Permasalahan seleksi KPU di Provinsi dan Kabupaten/Kota berkaitan erat dengan proses seleksi KPU di tingkat pusat. Mekanisme seleksi KPU RI dan Bawaslu RI yang masih melibatkan unsur politik seperti DPR dan Presiden tentunya tidak dapat dinafikan adanya potensi intervensi partai politik dan kekuasaan terhadap Komisioner KPU dalam setiap tugasnya. 

Bahkan, Survei PUSKAPOL FISIP UI tentang Kepuasan Peserta Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu Periode 2022-2027 Pada Saat Registrasi Seleksi Tahap Dua menyebutkan bahwa 22,8 persen peserta seleksi menyatakan kinerja Tim Seleksi sangat buruk, 29,5 buruk, dan hanya 18,2 persen peserta yang menyatakan baik. Hal tersebut tentu menjadi catatan kritis bagi pemerintah dalam melakukan proses seleksi penyelenggara Pemilu di masa yang akan datang.

Evaluasi terhadap proses seleksi KPU RI dan Bawaslu RI Periode 2022-2027 juga terletak pada belum sepenuhnya diterapkan prinsip penegakan hukum, yaitu ketentuan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Bagi pemerintah, kritik penulis di antaranya adalah komposisi Tim Seleksi yang tidak sesuai, buruknya kualitas teknologi dalam proses seleksi, keterwakilan perempuan dalam Tim Seleksi yang tidak mencapai 30 persen, serta minimnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Lainnya, bagi DPR adalah penting untuk tidak melakukan intervensi memperhatikan keterwakilan perempuan dalam menentukan anggota KPU dan Bawaslu.

Sebagaimana kita ketahui, keterwakilan perempuan yang menjadi anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 hanya sebesar 14,3 persen. Lebih dari itu, bagi Pemerintah dan DPR untuk tidak melakukan intervensi dan menggunakan kekuasannya untuk menekan kerja-kerja KPU. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penyelenggara Pemilu yang mandiri, independen, dan terlepas dari intervensi pihak manapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline