"Perjuanganku lebih mudah karena aku melawan penjajah asing dan perjuanganmu akan lebih berat karena kamu akan melawan bangsamu sendiri"
Kita masih ingat betul teks dari pidato Soekarno yang terkenal di atas. Kata-kata itu diucapkan pada beberapa dekade silam, kini terjadi secara nyata di Negara kita.
NKRI adalah negara kepulauan dengan teritorial yang cukup luas. Negara ini merupakan yang terluas ke-14 dalam hal luas daratan, juga negara ketujuh terbesar di dunia dalam hal gabungan wilayah laut. Wikipedia mencatat bahwa Negara ini disebut sebagai salah satu negara dengan penduduk terpadat, belum lagi kenyataan bahwa sebaran penduduk kita kurang merata; separuh populasi negara ini bermukim di Pulau Jawa. Dan di negara ini, diperkirakan terdapat lebih dari 273 juta jiwa.
Dari banyaknya penduduk, luas daratan dan lautan, serta sumber daya alamnya itu berbanding lurus dengan pembangunan bangsa ini tentu masih menjadi perdebatan.
Dalam cakupan yang paling luas, tidak sulit untuk mengatakan negara ini sedang overload penduduk, tepatnya mungkin Pulau Jawa yang sedang overload penduduk. Hal ini menimbulkan dinamika, terutama di pulau lain di luar Jawa; bahwa infrastruktur, kebijakan, pemanfaatan SDA untuk kepentingan rakyat juga cara-cara berpolitik, masih jauh dari apa yang kita sebut dengan keadilan.
Beberapa pakar meramalkan bahwa bila bangsa kita mampu memanfaatkan bonus demografi, kita tak akan sulit menggapai kesejahteraan yang selama puluhan tahun telah dicita-citakan. Tapi apakah bonus demografi itu hanya soal "kuantitas" generasi muda bangsa? Jawabannya sudah pasti "tidak". Karena kualitas personal dan komunal dari pemuda-pemuda itu tidak bisa menjadi tempat bertolak dimana kemajuan, keadilan dan kesejahteraan dapat dikeluarkan dari alam yang hanya sekedar khayal dan janji.
17 Agustus 2022, Logo 77 Tahun HUT RI tidak sulit kita dapatkan; disebarkan melalui facebook, group whatsapp, diposting melalui instagram, bahkan tersebar di search engine raksasa sekaliber google. Lomba-lomba diadakan, pesta rakyat diselenggarakan, upacara-upacara ceremonial akan dilangsungkan.
Apakah kita sebagai personal atau kita sebagai bangsa Indonesia sudah merdeka? Tak ada yang mau tau; semua metutup mata. Rakyat kita sibuk berkompetisi untuk memenuhi perut sendiri, pemimpin kita sibuk ngurus stabilitas politik dan jalinan koalisi, wakil-wakil kita masih terus amankan kursi. Tapi kebijakan-kebijakan yang diambil, masih saja menindih masyarakat kecil. Maka muncul pertanyaan, "masih adakah yang bekerja untuk bangsa?"
Pertanyaan ini sudah sering ditanyakan terus menerus sampai kita sendiri bosan menjawabnya, bahkan dengan analisa-analisa yang paling canggih sekalipun. Jawaban-jawaban secanggih apa-pun ternyata belum mampu merubah kenyataan bahwa kita, negara dengan laut terluas, masih impor garam; bahwa kita negara dengan tambang emas, nikel, besi yang sangat banyak tersebar, masih impor cangkul.
Angka pertumbuhan ekonomi kita sebelum pandemic covid-19 di masa Jokowi katanya meningkat. Kenyataanya? kita ditipu oleh angka-angka statistic produksi penguasa, sebab nyatanya hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Mereka sebagai pemimpin bangsa beserta seluruh kabinetnya masih duduk di dalam istana; masih memutuskan bahwa kita harus impor ini dan itu tanpa pernah melirik kesejahteraan rakyatnya.