Lihat ke Halaman Asli

Ikky Z

Writer/Jurnalis

Pilkada Serentak, Jangan Normalisasi 'Jalan Instan Politisi'

Diperbarui: 5 September 2024   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali musim kampanye politik, sering ditemui para politisi berkeliaran dari satu daerah ke daerah lain. Bisa diprediksi secara jelas bahwa tujuannya ialah tidak lain dan tidak bukan untuk menggaet dan memikat hati para pemilihnya. Alhasil, asumsi masyarakat kepada para politisi terkesan memiliki konotasi negatif, sebab seolah-olah para politisi hanya turun ke masyarakat saat menjelang pemilu. Praktik demikian memberikan interpretasi bahwa para politisi hanya meninjau masyarakatnya secara intens karena ada maunya.

Metode demikian, sunggulah tidak baik bagi sistem politik negara ini. Harusnya politisi menemui para pemilih (masyarakat) secara berkala dengan tujuan mendengar dan kemudian menyuarakan aspirasi rakyatnya. Fenomena seperti muncul dan diterapkan oleh para politisi, tentu memiliki alasan tersendiri. Namun kadang ini akan menjadi bomerang tersendiri bagi para politisi.

Sebut saja adanya persepsi dari masyarakat bahwa mereka menemuinya hanya karena kebutuhan elektoral. Disisi lain, jika para politisi turun ke masyarakat secara masif tidak hanya saat pemilu, tentu itu menjadi nilai positif bagi dirinya sendiri, sebab masyarakat akan menilai bahwa para legislator yang mewakili mereka memberikan kepedulian dan perhatian yang lebih.

Imbas lain dari mekanisme yang saya anggap sebagai jalan instan para politisi ini ialah saat tiba masa kampanye, waktu dan gagasan yang diberikan tidak cukup sehingga alternatif paling buruk akan ditempuh yaitu menggunakan biaya yang tentu bukan jumlah yang sedikit. Praktik seperti ini tentu mencederai akal sehat politik, sebab menjadi legislator seharusnya mulai dari bawah berbaur dengan masyarakat dan inilah kekuatan besar yang mesti dimiliki politisi yaitu modal sosial.

Senada dengan itu, menyinggung soal teori modal sosial (social capital) Fukuyama (1995) mengatakan kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial.

Berkenaan dengan itu, Hanifan dalam Syahra (2003) mengatakan modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan yang merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurutnya dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.

Dikaitkan dengan konteks politik, sepertinya mekanisme seperti inilah lebih ideal diterapakan oleh para politisi yaitu membangun sosial kapital dengan terjun langsung ke masyarakat dalam rangka membangun kedekatan dan memahami apa yang menjadi kebutuhan serta keinginan masyarakat. Bukan malah sebaliknya, turun ke daerah hanya saat musim kampanye politik kemudian menawarkan cara-cara yang negatif seperti bagi-bagi sembako atau uang dan cara seperti ini terkesan hanya melahirkan legislator yang instan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline