Lihat ke Halaman Asli

Muh. Jusran Jufri

ASN - Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia

Curiga

Diperbarui: 19 Juli 2024   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

               Gerimis sore masih saja turun memercikkan dinginnya pada daun jendela kaca yang tua. Daun pepohonan yang ada depan rumah saling menyapa setelah menahan kemarau yang lama. Dirintik hujan mereka saling bercerita tentang keringnya hati dari kenangan yang ingin dikubur.

        Mata Ina menerawang jauh, menembus jendela kaca yang buram. Mata yang sendu itu menerabas rapatnya kristal dan jamur kaca yang menebal, ia pun tiba dihari yang lalu. Hari dimana bunga-bunga yang masih segar sengaja ditabur untuknya dan seorang lelaki disampingnya. Itulah hari ia menjadi permainsuri disamping pangeran yang ia impikan, mereka jalan perlahan menuju pelaminan sambil membayangkan hidup kedepan penuh senyuman.

        Ini tahun ke duapuluhtiga dan entah gerimis  yang keberapa. Hatinya seperti tersiram dingin dan tak lagi kering. Di depan mesin jahit tua miliknya, setelah menyelesaikan satu pesanan baju pelanggannya, ia tetap duduk dan enggan beranjak. Ia ingin merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang membuat dua pipinya rela dibasahi oleh butir air mata, betapa tidak minggu depan Ari diwisuda dan telah dipastikan Ari menjadi lulusan terbaik di fakultasnya. Kabar itu datang bersama gerimis dengan pelan membasahi batinnya. Seperti tak percaya ia bisa mengantar Ari menjadi sarjana, tangannya menyapu punggung mesin jahitnya seolah berkata terima kasih telah bersamaku mengantar Ari menjadi sarjana.

        Ari mencoba baju toganya,  berdiri gagah depan cermin, senyum sumringah penuh diwajahnya.  Wajah Ari memang mirip Bapaknya. Lelaki yang sepertinya  hanya singgah menanam benih lalu pergi, sulit rasanya mencari alasan dalam waktu sesingkat itu hanya dua tahun bersama. Nasib menggelinding dilereng yang curam, tak terbendung hingga membentur batu keras dan akhirnya pecah berantakan, ya Ina mengenangnya, bagaimana pertengkaran demi pertengkaran yang mereka temui, ada saja yang tidak cocok hingga keangkuhan masing-masing membenturkan mereka.

        Di dalam audiotorium universitas yang megah ini, Gaudeamus  Igitur mulai diperdengarkan  dari kelompok paduan suara universitas. Menggema, memantul pada dinding megah nan kedap. Suaranya mengepung perasaan setiap orang dan seketika membuatnya diam dan merinding, hingga anthem itu selesai diperdengarkan. Nama nama wisudawan mulai disebut satu demi satu, seperti  genderang ditabuh berdentum-dentum dihati orang tua yang mendampingi. Demikian juga di hati Ina, bahkan seperti mengguncang di kepalanya saat nama Ari disebut. Anakku saat kau lahir Bapakmu tidak hadir. Dan hari ini,  diapun tak hadir.

                                                                        *  *  *

        Bayu diam saja sesudah itu, entah apa yang membuatnya diam seribu bahasa. Tidak puaskah dia ? padahal aku melihatnya bahkan merasakannya ia sangat menikmati malam pertama kami.     Semua terasa berlalu demikian indahnya, bagiku itu adalah sorga di dunia yang baru pertama kurasakan. Demikian suara batin Ina. Ia melihat raut muka suaminya makin tegang, seolah-olah peristiwa yang paling indah itu tidak pernah terjadi. Seketika Ina berubah jadi takut, suaminya menatapnya tidak dengan kasih sayang, malah terkesan curiga dan membenci.

        Ina ingin bertanya, tapi ditahannya. Ia tidak ingin merusak suasana malam pertamanya. Sisa malam terasa sangat panjang dan melelahkan tidak ada suara dan tatapan. Punggung mereka saling berhadapan. Seribu asa malam pertama luruh tak bersisa, bias tanpa suara.

                                                                         *  *  *

        Ina mengenal Bayu sebulan sebelum menikah. Ia dijodohkan. Ina tinggal di ibukota kabupaten dari kecil hingga tumbuh dewasa. Ia  bersekolah sampai jenjang SMA dan tidak lanjut. Ia diasuh oleh ibu, ayahnya telah meninggal sejak Ina umur dua tahun. Beruntung ia punya paman dari ibunya yang membantu nafkahnya. Paman Usman saudagar yang terbilang kaya di kotanya.

        Sang Paman punya anak perempuan sepantaran Ina, namanya Isa. Kesehariannya Ina dan Isa sekolah di TK samping rumah paman usman. Paman Usman sangat senang karena Isa itu adalah anak emas. Paman Usman baru dikarunia anak setelah 20 tahun usia pernikahannya. Dan yang lebih membuat paman Usman senang Ina dan Isa itu mukanya agak mirip, para tetangga memanggilnya si kembar. Paman Usman senang saja dengan panggilan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline