Sebelum tersandung masalah korupsi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebenarnya telah lama menjadi topik perbincangan negatif berbagai kalangan. Mulai dari keterpengaruhan PKS dengan ideologi yang didominasi oleh corak pemikiran yang skriptualis, fundamentalis dan radikal, sampai diwacanakan sebagai gerakan transnasional yang sama sekali tidak mempunyai semangat nasionalisme.
Keberadaan PKS seringkali menjadi momok menakutkan bagi gerakan Islam lokal. Basis Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pelan-pelan digerogoti oleh PKS. Di kalangan Nahdlatul Ulama telah lama beredar "Dokumen Penolakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Ideologi dan Gerakan Ekstrimis Transnasional" di mana PKS disebut-sebut sebagai bagian dari ideologi dan gerakan transnasional itu.
Sementara Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengedarkan Surat Keputusan dengan Nomor: 149/Kep/I.0/B/2006 tentang "Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah" yang salah satu poin keputusannya bertujuan untuk "menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan" dan membebasakannya "dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah" karena telah memperalat ormas itu untuk tujuan politik mereka yang bertentangan dengan visi-misi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat.
Dari sisi ideologi PKS memang memiliki banyak kesamaan dengan gerakan Islam fundamentalis-radikalis lainnya. Hanya saja, jika sebagian besar gerakan Islam fundamentalis-radikalis bersifat revolusioner, maka gerakan PKS bersifat evolusioner. Jika sebagian besar kelompok Islam fundamentalis-radikalis memilih cara kekerasan dalam mendakwahkan ideologinya, maka PKS memilih berdamai dengan kondisi sosial masyarakat kita dengan menanamkan ideologinya pelan-pelan melalui instansi-instansi yang bisa dikuasainya.
Meski demikian, upaya PKS untuk berdamai dengan lingkungan sosial-keagamaan yang telah lama menjadi lahan bagi gerakan Islam lokal di Indonesia, tidak semulus yang diperkirakan partai tersebut. Masyarakat telah lama dibuat geram oleh pelarangan-pelarangan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh beberapa oknum dan atau kader PKS di beberapa daerah. Masjid-masjid NU dan Muhammadiyah menjadi sasaran perebutan kader-kadernya.
Mulanya satu-dua orang datang, setelah menjadi kepercayaan dari pengurus masjid tersebut, ia mengundang beberapa temannya, menentukan kegiatan keagamaan di masjid itu, menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi imam dan mengisi khutbah di masjid yang dikuasainya itu. Singkatnya, di beberapa tempat kader PKS meresahkan masyarakat.
PKS tidak memiliki nasionalisme, ideologinya tidak bertumpu pada nation-state, melainkan international-state yang didominalisi oleh pemikiran yang bercorak skriptualis ala Arabism. Ideologi PKS identik dengan al-Ikhwan al-Muslimun, namun kenyataannya banyak sekali kadernya yang berideologi Wahabism. Kedua ideologi ini mempunyai keterikatan emosional, sama-sama skriptualis, sama-sama berasal dari Timur Tengah, sama-sama berasal dari Arab. Melalui keterikatan emosional inilah, PKS dengan mudah dimasuki oleh orang-orang dengan orientasi Arabism-Wahabism. Tentu saja sesuai dengan sifat gerakannya yang evolusioner itu, PKS yang kita kenal dahulu, lambat laun akan berubah, menunjukkan karakter aslinya.
Belakangan, setelah kebobrokan beberapa kader PKS tercium oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dipublikasikan besar-besaran oleh media, bantahan dan pembelaan kader-kadernya pun turut meramaikan berbagai media. Rupanya masyarakat pun tidak begitu terkejut dengan kebusukan yang telah terpendam lama itu. Masyarakat memang lebih cerdas ketimbang kuasa media dalam menilai segenap carut-marut persoalan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H