Lihat ke Halaman Asli

Mugi Cahyaningtyas

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas dalam Film Miracle In Cell No.7

Diperbarui: 6 Januari 2023   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah banyak mengubah cara interaksi individu dengan individu lain. Internet juga menjadi salah satu ruang digital baru yang telah menciptakan sebuah budaya. Adanya internet secara tidak langsung menghasilkan sebuah generasi yang barudan generasi ini dipandang menjadi sebuah generasi masa depan yang diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan budaya baru media digital yang interaktif. Perkembangan teknologi informasi saat ini tentu berawal dari kemajuan dibidang komputerisasi. Pengguanaan komputer pada masa awal untuk sekedar menulis, membuat grafik dan gambar serta alat menyimpan data yang luar biasa telah berubah menjadi alat komunikasi dengan jaringan yang lunak dan bisa mencakup seluruh dunia (Daryanto, 2018).

Seiring dengan perkembangan zaman, penyampaian pesan di era sekarang ini dapat dilakukan dengan media apapun. Salah satu media efektif untuk menyampaikan pesan yang adalah film. Teknologi digital juga sudah sangat memudahkan penonton untuk mengakses segala jenis film yang ingin mereka tonton. Film dapat menjadi media pembelajaran yang baik bagi penontonnya, tidak semata hanya untuk menghibur namun film juga mampu menjadi media untuk menyampaikan pesan langsung lewat gambar, dialog, dan lakon sehingga menjadi medium yang paling efektif untuk menyebarkan misi, gagasan, dan kampanye (Redi Panuju, 2019). Singkatnya, film adalah bagian dari komunikasi media massa yang bersifat audio-visual dan memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan social atau moral kepada penontonnya.

Film Miracle in Cell No.7 yang dibintangi oleh Vino G. Bastian sebagai peran utama ini berhasil menarik perhatian banyak orang. Sebenarnya film ini adalah hasil remake film asal Korea Selatan yang diangkat dari kisah nyata dan sudah rilis pada 2013 silam. Hanung Bramantyo sebagai sutradara berhasil mengemas ulang film tersebut dengan judul dan jalan cerita yang sama. Hanung juga memberikan unsur-unsur budaya dan sentuhan khas film Indonesia. Film produksi Falcon Pictures ini juga berhasil membuat penonton sedih, tertawa dan tegang dalam satu waktu. Para penonton benar-benar dapat merasakan kesedihan mendalam, tak jarang saya mendengar isakan tangis di dalam bioskop. Namun Hanung juga menambahkan kesan komedi di film garapannya ini, juga beberapa pemain film yang basicnya adalah seorang komedian membuat penonton di bioskop tertawa terbahak-bahak.

Berfokus pada pemeran utama yaitu Dodo yang memiliki keterbelakangan mental sehingga mendapat perlakuan tak menyenangkan dari orang disekitarnya. Dodo juga merupakan seorang bapak dari satu anak yang bekerja sebagai penjual balon keliling. Pada suatu hari, Dodo sedang bekerja membuatkan balon untuk perayaan hari ulang tahun Melati, anak seorang pejabat. Dan pada saat itulah awal mula mimpi buruk Dodo dimulai. Berawal dari matinya anjing milik Melati yang tertabrak motor dijalan dan membuat Dodo berteriak histeris. Namun ada salah paham disitu, Dodo dituduh sebagai pembunuh anjing tersebut. Melati menangis dan Dodo mencoba untuk menenangkan, namun Melati malah lari dan dia tersandung tali lalu tercebur ke kolam renang. Dodo mencoba untuk menolongnya, dia menggunakan sebuah kayu untuk menarik Melati. Namun usahanya gagal dan akhirnya dia masuk ke kolam dan membawanya keluar. Mengingat nasihat mendiang istrinya bahwa baju basah tidak boleh digunakan karena takut masuk angin, dia melakukan hal yang sama terhadap Melati. Naasnya, nyawa Melati tidak tertolong.

Dengan adanya kejadian tersebut, Dodo dituduh bahwa telah membunuh Melati dan memperkosanya. Walaupun Dodo sudah berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya, polisi tetap menekannya karena menganggap bahwa orang dengan keterbatasan mental ini berbicara tidak benar. Dodo dibawa ke lapas dan diperlakukan kasar oleh para petugas. Dodo bertemu dengan teman baru yang berhati baik, mereka percaya bahwa Dodo tidak bersalah. Alhasil mereka bekerjasama untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Tapi usaha yang dilakukan Dodo dan teman-temannya selama ini tidak berbuah baik, saat akan mengajukan banding ternyata bertepatan dengan pengetatan hukum kekerasan anak yang dilakukan oleh ayah Melati sebagai seorang gubernur.

Di hari sidangnya, Dodo mendapat kecaman dari pengacaranya yang telah diiming-imingi oleh ayah Melati. Jika dia tidak mengaku  bahwa dialah yang telah membunuh Melati maka nyawa anaknya akan terancam. Ayah Melati sebagai seorang gubernur juga menganggap Dodo adalah orang yang lemah dan tidak memiliki kuasa. Karena hal itulah dia dapat mengatur semuanya menjadi seperti apa yang dia inginkan dengan mudah. Rencana ayah Melati berhasil, pada akhirnya Dodo mengakui bahwa dia yang membunuh Melati. Dia merencanakan hal tersebut dikarenakan dirinya malu telah berlaku tak adil dan ingin segala tuduhannya selama ini dianggap benar oleh masyarakat.

            Jadi, film Miracle in Cell No.7 ini berhasil menyampaikan pesan kepada para penonton untuk selalu berlaku baik kepada semua orang. Film ini menunjukan bahwa masih ada diskriminasi dan ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas yang seharusnya dapat dihindari jika dalam proses penegakan didasari bahwa semua manusia sama di mata hukum. Bukan karena dia memiliki keterbelakangan mental atau disabilitas, dia diperlakukan seenaknya seolah-olah hukum berpihak kepada penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline