Lihat ke Halaman Asli

Mugi

Let me know if you have a time machine

Tanpa Sepeda Motor

Diperbarui: 28 Juli 2023   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://tinyurl.com/n4zw9u8c

Bu Haji, begitu Hario memanggilnya. Bukan saudara, bukan pula kerabat. Hario mengenalnya secara tidak sengaja pada suatu siang. Hario masih ingat betul, kala itu, ia baru saja ditolak oleh tempat yang sebelumnya telah menerimanya bekerja. Agak membingungkan? Begitulah kenyataannya.

Hario bukan berasal dari kota. Kampung halamannya berjarak sekitar enam belas jam perjalanan darat dari kota tempat pertemuannya dengan Bu Haji. Agak klise. Tapi, Hario memang bermimpi untuk mengubah hidupnya di kota. Ia sudah mengungkapkan dengan tegas bahwa ia tidak ingin melanjutkan mengurus sawah seperti bapaknya. Sawi, bayam, pare hingga pohon cabai rawit menurutnya kurang mampu menyokong hidup.

Masa ketika bapak dan ibunya masih muda, sekitar tahun 1970-an, sektor pertanian memang berjaya karena diandalkan sebagai penggerak ekonomi. Sayangnya, nilainya semakin menurun ketika komoditas negara beralih ke minyak. Perekonomian yang turun akibat anjloknya harga minyak awal tahun 1980-an pun semakin memburuk ketika krisis keuangan melanda Asia tahun 1997-1998. Saat memasuki milenium baru, perekonomian memang mulai membaik. Tetapi, tetap saja sektor pertanian bukan lagi primadona. Begitu pikir Hario. Ia pun semakin bertekad untuk tidak menjadi petani.

Wajah Hario semakin semringah ketika hari kelulusannya tiba. Setengah tidak percaya, tetapi namanya benar-benar terukir di atas kertas ijazah. Artinya, ia resmi lulus dari SMA. Bahkan ia mendapat predikat sebagai lulusan dengan nilai yang tinggi, meski bukan peringkat pertama. Tertinggi ketiga tepatnya. Dan ia semakin girang mengingat senyuman di wajah bapak dan ibunya ketika acara perpisahan. "Pasti mereka bangga," batinnya.

Hario tidak menyia-nyiakan waktu. Begitu semua dokumen yang menyatakan kelulusannya telah sampai ditangannya, ia segera mencari informasi lowongan pekerjaan. Mulanya ia agak kecewa karena hampir setiap iklan yang ia baca di koran mencantumkan kata "berpengalaman" atau "lulusan D3/S1". Jelas dirinya yang baru saja lulus SMA tidak memenuhi kualifikasi.

Beruntung Hario tidak berhenti membaca. Di pojok bawah koran yang dibacanya, ada iklan lowongan kerja yang menurutnya layak dicoba. Dalam iklan itu tertulis "Dicari Sales Marketing" dalam tinta tebal. Ia lalu teringat putri pak RT, yang merupakan lulusan universitas bekerja sebagai sales. Dan tampaknya kehidupannya terjamin. Pakaiannya selalu bagus setiap kali pulang ketika Lebaran.

Logo produsen makanan nasional dalam iklan itu semakin menguatkan minat Hario. Ia pun menelaah kualifikasi-kualifikasi yang diminta dalam iklan tersebut. Pria/wanita? Bapak dan ibunya telah menunjukkan dengan jelas bahwa ia adalah pria melalui nama yang ia sandang, Hario Putra Hanenda. Berusia maksimal 30 tahun? Jelas ia masuk kriteria, lha usianya baru 18 tahun. Pendidikan minimal SMA/K sederajat? Tentu saja sesuai. Ijazahnya saja masih hangat. Jujur? Hario percaya bahwa dirinya memenuhi kualifikasi ini mengingat ia adalah langganan jabatan bendahara selama tiga tahun berturut-turut. Serius. Kapan-kapan ia akan bertanya kepada teman-temannya mengapa ia selalu diajukan sebagai bendahara di kelas.

Kualifikasi yang selanjutnya adalah good looking. Meski bukan yang paling populer di kelasnya, tapi Hario pernah dua kali mendapat surat cinta dari siswi seangkatannya. Konon, ada adik kelas yang juga naksir padanya. Ibunya pun selalu memanggilnya, "Le, cah bagus...." Bisa disimpulkan bahwa ia cukup memenuhi kualifikasi tersebut.

Kualifikasi selanjutnya adalah siap bekerja sesuai dengan target dan mampu bekerja secara individu atau dalam tim. Hario merasa bahwa dirinya cukup memenuhi syarat tersebut. Meski agak bingung dengan target yang dimaksud, tapi ia merasa bisa mempelajarinya nanti. "Jangan meremehkan si peringkat tiga seangkatan," katanya dalam hati.

Tekad Hario sudah bulat. Segera ia mengirimkan surat lamarannya. Tiga hari berlalu, belum ada kabar. Pun demikian dengan hari keempat, kelima, keenam.... Dua pekan berselang, barulah ia mendapat kabar. Ia diminta untuk mengikuti seleksi penerimaan karyawan baru di kota. Kepada ibu dan bapaknya, ia pamit sembari minta doa restu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline