Laut memainkan peran penting untuk mengatur iklim, tempat hidup flora dan fauna laut, serta mereduksi karbon dioksida atmosfer. Indonesia adalah salah satu negara yang kaya dengan ekosistem laut, misalnya hutan bakau, rawa-rawa berpasir, dan padang lamun yang semuanya memiliki potensi untuk menyimpan cadangan karbon. Nah, namun potensinya kadang belum maksimal ditingkatkan karena butuh perencanaan tata ruang laut, teknik pengelolaan dan pengembangan yang baik dan sulit.
Tahukah kamu ?
Ternyata setengah dari biomassa fitoplankton yang bloom akan tenggelam sampai kedalaman 1000 meter di bawah permukaan laut. Karbon yang tenggelam ini akan terendapkan sampai berabad-abad sampai arus membawanya kembali ke permukaan. Di Cina, alga yang bloom bisa menghasilkan bobot karbon sebesar tiga juta ton dan dua pertiganya bisa mengendap di kedalaman laut. Sebenarnya karbon yang dipindahkan dari alga ke kedalaman laut dihasilkan dari yang namanya Coastel CO2 Removal Belt atau CCRB.
Tahukah kamu apa itu hutan kelp?
Hutan kelp adalah ekosistem di laut yang hampir seluruh kawasannya dipenuhi rumput laut atau seaweed. Hutan kelp seringkali dijadikan tempat tinggal oleh organisme laut dan sebagai hotspot biodiversitas, bukan hanya seaweed. Keberadaan hutan kelp ini sangat penting terutama untuk mengikat CO2 di air yang merupakan hasil fotosintesis organisme-organisme laut dan seaweed itu sendiri. Masalahnya, tidak selalu seaweed bertahan sampai belasan tahun karena pada musim panas seaweed-seaweed akan berguguran atau daunnya hancur dan jatuh sampai kedalaman laut. Kalau sudah seperti itu sisa daun-daun tadi akan menjadi santapan detritus. Akhirnya, karbon yang tadinya terikat di seaweed bisa saja kembali ke air atau justru kembali ke atmosfer.
Meskipun hutan kelp penting dalam siklus karbon, tapi tidak seperti penghasil blue carbon lain (mangrove, seagrass & rawa-rawa berpasir) yang menahan sejumlah besar karbon dalam sedimen, hutan kelp tidak punya substrat sedimen sehingga tidak memiliki fungsi cukup besar untuk menyerap karbon. Sebagai gantinya, kelebihan karbon yang ada di hutan kelp dilepaskan dan diurai dalam rantai makanan oleh organisme dan mikroorganisme di lautan. Akhirnya, karbon-karbon tadi tidak ada yang menahan dan kemungkinan besar kembali lagi ke atmosfer. Kembalinya karbon ke atmosfer adalah masalah yang harus kita cegah karena bisa menimbulkan tingginya polusi karbon di udara/pemanasan global.
Sebagai produser primer pada ekosistem laut, rumput laut di hutan kelp mampu memfiksasi kelimpahan CO2 melalui fotosintesis. Meskipun rumput laut (Seaweed) tumbuhnya tidak banyak, tapi seaweed sangat bermanfaat untuk ekosistem laut karena memiliki produktivitas primer yang tinggi dan kemampuan memperbaiki ekosistem. Peran rumput laut selain untuk menyerap karbon, fosfor, nitrogen, juga bisa dipanen untuk menghasilkan biofuel sebagai bahan bakar terbarukan. Di dunia, budidaya rumput laut adalah salah satu langkah untuk mengurangi dampak pemanasan global dan beberapa masalah iklim, tentu saja di samping nilainya sebagai bahan pangan primer yang masih gemar dikonsumsi. Peran tersebut menjadikan spesies-spesies valuable untuk dijadikan spesies budidaya selama berabad-abad.
Nah, karena rumput laut punya banyak peran, peneliti dari Korea mengusulkan tentang model budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan juga memaksimalkan fungsi dari rumput laut itu sendiri. Jadi, rumput laut yang 'ditanam' bukan hanya untuk urusan ekonomi saja, tapi untuk urusan kelestarian lingkungan juga lebih tepatnya untuk menyerap kelebihan karbon di atmosfer. Para peneliti Korea menyebut model budidaya itu adalah CCRB yang dimodifikasi (Coastel CO2 Removal Belt).
Apa tujuan CCRB?
Tujuan utama dari sistem budidaya ini adalah untuk membangun komunitas tumbuhan alami dan buatan di pesisir pantai Korea yang nantinya diharapakan bisa mereduksi CO2. Ilustrasi sistem CCRB yaitu terdapat 3 jenis ekosistem di antaranya hutan kelp, budidaya rumput laut, dan budidaya tambak (misalnya ikan) berdekatan.