Lihat ke Halaman Asli

Merefleksikan Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia menjadi sebuah negara besar,

Indonesia menjadi negara hebat

Indonesia menjadi negara berintegritas

Namun kelakuan elit politik hari ini menghambat itu semua

Korupsi masih terus mewarnai kolong langit indonesia

Para neolib telah memakan bangkai rakyat sendiri

Indonesia masih berduka

Selama pendidikan belum diraih penuh

Selama pendidikan bukan hal utama

Maka akan terus muncul para koruptor dan para neolib

HIDUP PENDIDIKAN INDONESIA!!!

Tinggal menghitung hari kita akan memperingati kembali Hari Pendidikan Nasional. Namun setiap tahun, HARDIKNAS bagi saya selalu diperingati dengan turun ke jalan. Ketika masa sekolah saya memperingatinya dengan upacara bendera, namun saya tidak menikmati itu semua. Mungkin karena saya tinggal di Ibu Kota dan dimanjakan dengan fasilitas yang ada di Jakarta, sehingga saya merasa acuh dengan kondisi pendidikan Indonesia. Perlahan namun pasti hari ini saya semakin memahami tentang pendidikan yang hari ini tidak mengindonesiakan. Carut marut pendidikan tidak bisa kita pungkiri, kita harus akui bersama bahwa pendidikan di negeri ini masih sangat minim kualitasnya.

Pemilu sebagai ajang pencarian pemimpin baru tak ayal hanya menjadi sebuah utopis belaka. Politik kotor, korupsi masih menghiasi gambaran media negeri ini. Lihat saja pasca pemilu ini atau pada saat masa kampanye, berapa banyak pelanggaran yang dilakukan para calon penunggu gedung megah. Mengutip kata dari Dr. B. Herry Priyono, masa depan adalah neraka apabila praktik busuk politik dewasa ini kita terima begitu saja. Ya kita tidak bisa diam saja melihat ini semua. Bagi saya pendidikan adalah sektor yang krusial nan penting karena pendidikan adalah faktor utama maju atau tidaknya sebuah bangsa dalam 20-40 tahun ke depan.

Anggaran APBN 20 % untuk pendidikan ternyata tidak 100% masuk ke dalam pendidikan, karena 20% tersebut telah dipangkas untuk gaji guru dan anggaran lainnya. Ini semua diperparah dengan masuknya dana 20% ke dalam instansi-instansi lain yang mempunyai program bertanda kutip Pendidikan, namun nyatanya program-program tersebut sepertinya hanya pragmatis belaka demi merauk keuntungan dari dana tersebut. Contoh, sebuah instansi membuat pelatihan pendidikan politik diluar kota selama 3 hari 2 malam, karena ada unsur pendidikan maka instansi tersebut berhak mendapatkan anggaran tersebut, padahal agendanya pun hanya seperti “Liburan” melepas penat diluar kota.

Permasalahan lainnya adalah masalah UN, hari ini UN telah dijadikan standar kelulusan, walaupun hari ini nilai tersebut digabung dengan nilai Ujian sekolah. Kemendikbud setiap tahun memastikan tidak ada bocoran UN, namun tetap saja setiap tahun pula soal sudah pasti bocor. Alih-alih ingin membuat 2 paket, 5 paket, hingga saat ini menjadi 20 paket soal malah membuat psikis peserta didik menjadi down. Mahkamah Konstitusi sendiri sebenarnya telah mengetok palu untuk penghapusan UN sendiri, namun UN tetap saja masih berlangsung. Apakah mereka takut kehilangan proyek besar? WaAllahualam. Melihat pendidikan belum merata maka UN tidak akan bisa dilaksanakan, dan UN tidak akan bisa merepresentasikan bahwa peserta didik layak lulus atau tidak. Bahkan UN tidak sesuai dengan kurikulum 2013 yang katanya mengedepankan aspek afektif dan psikomotorik, bukan kognitif.

Hal yang baru dibuat pemerintah adalah Kurikulum 2013, kurikulum ini menjadi pro kontra dikalangan mulai dari pengamat, dosen, praktisi, hingga mahasiswa, Kurikulum yang menetas tanpa adanya sebuah evaluasi. Nyatanya sampai hari ini kurikulum ini terlihat belum efektif. Banyak guru yang masih bingung, banyak kalangan menilai bahwa kurikulum ini hanya kepentingan banyak pihak. Uang yang cukup besar dalam pembuatan kurikulum ini mungkin mubadzir jika skill para guru tidak mampumengimbanginya. Saya rasa dari pada harus berganti kurikulum, lebih baik uang yang bermilyar-milyar tersebut digunakan untuk perbaikan insfrastruktur pendidikan di daerah atau untuk menambah skill para guru. Karena pada kenyataannya gurulah yang paling berperan penting.

Mufti Adil: Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas negeri Jakarta

@muftiadil99

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline