Lihat ke Halaman Asli

Sedikit Berpikir Serius Tentang Kondisi Dunia Akademik Bangsa Kita Tercinta

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan yang akan saya kutip ini begitu menyindir saya sebagai seorang sarjana. Betapa kondisi dunia pendidikan kita masih jauh tertinggal dengan negara tetangga. Tak lain tak bukan menurut saya, karena memang dunia akademik kita masih emoh menjadikan buku sebagai sesuatu yang penting. Kita serba tidak serius, dulu sewaktu saya masih kuliah S1 membuat makalah begitu asal-asalan, tidak serius, asal jadi, dan nyatanya dosen pun menerimanya dengan sangat terpaksa karena mungkin sudah menyerah tidak bisa membuatnya lebih bermutu, memang begitu kemampuan mahasiswanya, termasuk saya.

Baiklah, sedikit kutipan tulisan ini saya peroleh dari tulisannya Ariel Heryanto dalam buku berjudul “Bukuku Kakiku”. Ariel Heryanto adalah doktor lulusan Monash University Austalia, menyelesaikan pendidikan master of arts-nya di University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat. Ia menulis seperti ini,

“Para sarjana ilmu sosial dan humaniora kita ketinggalan tidak hanya untuk tingkat dunia, tetapi juga di kalangan rekan-rekan di Asia Tenggara sendiri. Di berbagai forum antarbangsa di bidang ilmu sosial dan humaniora, partisipasi dari Indonesia sangat minim atau diisi oleh orang dari Amerika, Eropa, atau Australia yang ahli tentang Indonesia. Cobalah buka daftar pustaka acuan pada buku-buku ilmu sosial yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang diperhitungkan di situ. Kalau Anda menduga ini merupakan kesombongan atau ketidaktahuan orang asing tentang khazanah pustaka Indonesia, silakan periksa hal yang sama di antara berbagai analisis sosial tentang Indonesia oleh pengarang Indonesia sendiri yang diterbitkan di tanah air dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Banyak sarjana kita yang mahir mengutip karya tulis para pemikir besar di dunia, tetapi tidak jelas apakah mereka membaca tulisan karya rekan seprofesi di tanah air sendiri.”

“Kecilnya partisipasi Indonesia dalam forum internasional di bidang ilmu sosial mungkin ada hubungannya, tetapi jelas tidak sepenuhnya, dengan persoalan kesulitan berbahasa Inggris. Selama ini beredar pemahaman umum bahwa orang Indonesia dirugikan karena dijajah oleh bangsa Eropa yang tidak menjalankan administrasi Negara jajahan dengan bahasa Eropa; sementara orang India, Malaysia, Singapura, atau Filipina biasanya dianggap lebih hebat karena pernah dijajah dalam bahasa Inggris. Tetapi ada baiknya diperhatikan karya-karya rekan-rekan kita dari Jepang, Taiwan, atau bahkan Thailand yang ternyata lebih unggul daripada kita, baik dalam jumlah maupun kualitas dialog intelektual antarbangsa, walau mereka juga sangat kerepotan berbahasa Inggris.”

“Salah seorang rekan sarjana dari Indonesia pernah dengan sangat tajam menggambarkan kondisi di tanah air yang ikut menyebabkan situasi ini. Katanya, bagi sarjana Indonesia mendapatkan gelar Ph.D. (doktor) sering kali merupakan puncak prestasi dan sekaligus akhir kegiatan akademik mereka. Sementara di berbagai pusat pendidikan tinggi dunia gelar itu barulah semacam tiket untuk masuk ke gelanggang pertandingan yang kejam. Baru masuk, artinya setelah masuk mereka akan dihajar habis-habisan, dan tidak ada jaminan akan bertahan dalam bulan-bulan berikutnya.”

Bagaimana, apakah Anda juga merasa tersindir? Tapi itulah realitanya. Betapa kita ketinggalan jauh dengan negara lain yang sama-sama berada di Asia sekalipun. Padahal jumlah penduduk kita adalah terbesar keempat di dunia. Sebenarnya kalau pendidikannya digarap dengan serius, minat baca masyarakatnya diperhatikan betul, bukan sesuatu yang tidak mungkin kita akan menjadi bangsa yang kuat, yang disegani oleh negara-negara lain. Tapi selama pendidikan kita, dunia akademik kita, masih seperti apa yang ditulis oleh Ariel Heryanto di atas, tentu negara kita dan masyarakat kita akan terus menjadi bangsa yang tidak bisa mandiri, yang terus bergantung dengan negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline