Lihat ke Halaman Asli

Mufraini Hamzah

karyawan swasta

Penemuan Hukum di Bidang Penegakan Hukum ITE

Diperbarui: 6 Maret 2023   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Pada awal abad ke 20-an kemajuan teknologi informasi sudah sedemikan pesat nya, bahkan bisa kita katakan telah terjadi revolusi dibidang teknologi informasi karena perubahannya yang sangat cepat dan sudah menyentuh dasar atau pokok-pokok kehidupan, khususnya masyarakat diperkotaan yang hampir tidak bisa lepas dari teknologi dalam kehidupannya. Kemajuan teknologi informasi ini tentunya membawa dampak positif dan dampak negatif disemua bidang kehidupan masyarakat, dalam bidang hukum pun tidak lepas terkena  dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi informasi tersebut. Hal positif yang dapat dirasakan dalam bidang hukum terkait kemajuan teknologi informasi antara lain : Dapat tersampaikannya informasi terkait peraturan perundang-undangan dengan jauh lebih cepat dengan cakupan yang jauh lebih luas. Masyarakat lebih mudah mendapatkan informasi terkait hukum dan lainnya. Memudahkan aparat hukum dalam melakukan penegakan hukum dan masih banyak manfaat lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan teknologi informasi juga memberikan dampak negatif dalam perkembangan hukum khususnya perkembangan hukum di Indonesia hal-hal negatif itu seperti : Makin meningkatnya kejahatan di dunia maya ( Cyber crime ) dengan jenis kejahatan yang  semakin variatif dan juga modus operandinya. Hal negatif lainya mulai pudarnya semangat kekeluargaan, gotong royong dan mufakat bahkan meningkatkan perselisihan, saling hina, saling ejek dan saling merendahkan di dunia maya dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya  bahkan bisa berpotensi menimbulkan ancaman disintegritas bangsa.

         Yang harus diwaspadai dan juga sangat penting adalah menjaga agar  jangan sampai mental generasi muda kita menjadi rusak, karena dengan mudahnya untuk mengakses situs-situs yang kontennya tidak sesuai dengan Pancasila dan budaya bangsa seperti situs-situs yang mengandung konten pornografi. Pornografi ini dapat menimbulkan kecanduan yang menjadi ancaman bagi remaja karena terdapat banyak dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Mulai dari kerusakan sel-sel otak, gangguan emosi dan mental, hingga kehilangan masa depan.

 

            Akibat-akibat negatif tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata atau dianggap sepele, pemerintah melalui aparat penegak hukum nya harus mampu mencegah lajunya kejahatan yang ditimbulkan dari transaksi informasi elektronik yang marak belakangan ini, penegak hukum disini bukan saja kepolisian, tapi juga Jaksa, Hakim bahkan advokat sekalipun.

 

            Menurut Undang-Undang No.11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jo Undang-undang No.19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE),  Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (ED4, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

 

            Melihat difinisi diatas maka terlihat begitu luasnya cakupan transaksi elektronik tersebut, sehingga sulit dibatasi oleh ruang dan waktu. Saat ini hampir semua hal dapat dilakukan dengan transaksi elektronik,baik itu gambar, suara maupun tulisan. Belakangan ini semakin banyak gambar, suara maupun tulisan yang mengandung unsur pornografi (video asusila). Memang tidak semua video asusila yang beredar di dunia maya tersebut ditujukan untuk tujuan komersial bagi si pembuatnya, ada yang hanya untuk tujuan dokumentasi pribadi agar menambah kemesraan dalam menjalin hubungan. Namun ada juga peristiwa dimana sepasang lelaki dan perempuan dalam melakukan hubungan intim samaskali tidak ada niat dan maksud untuk mendokumentasikannya, namun tanpa seijin dan tanpa sepengetahuan mereka ada pihak lain yang merekam, mendokumentasikan dan menyebarkannya secara luas, baik itu melalui media sosial ataupun sarana elektronik lainnya.

 

            Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.44 tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi) menyebutkan : Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual belikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: 

 

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.     

 

            Sanksi pidana terhadap pelaku Pornografi diatas diatur dala Pasal 29 UU Pornografi yang berbunyi Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Disamping itu juga dapat dikenai UU ITE pasal 27 yag ketentuan pidanya diatur dalam pasal 45 UU ITE tersebut.

 

            Disini timbul permasalahan, bagaimana dengan pemeran video asusila yang perbuatannya direkam oleh orang lain tanpa seijin bahkan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan ("korban"). Sebagai pemeran dalam video asusila tersebut tentunya mereka dapat di katagorikan sebagai pelaku yang membuat video asusila, sebab tanpa peran mereka tentunya video asusila tersebut tidak akan ada. Tentunya si perekam video asusila tersebut (Pelaku)_yang melakukan kegiatan perekaman dan penyebaran video asusila buatannya tidak dapat lepas dari jerat hukum, namun bagaimana jika dia meminta maaf dan permintaan maaf nya di terima oleh "korban", apakah dengan demikian si pelaku layak untuk dimaafkan dan terbebas dari jerat hukum, toh si Korban yang paling dirugikan sudah memaafkannya, apalagi belakangan ini dengan adanya surat edaran Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo No. SE/2/II/2021, yang menginstruksikan agar penyidik Polri mengutamakan pendekatan keadilan restoratif justice dalam penanganan perkara yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

            Kita sering bahkan familiar dengan pepatah Belanda yang mengatakan  het recht hink achter de feiten aan (hukum terkadang tertatih-tatih mengejar peristiwa yang terjadi di masyarakat / perkembangan zaman ). Namun hal itu tidak menyurutkan para penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum demi tercapainya keadilan dan kemanfaatan hukum dengan tetap menjunjung kepastian hukum. Hal yang bisa membuat hukum itu selalu bisa mengikuti perkembangan zaman dan tidak pernah mati.

 

            Terkait dengan pemeran video asusila yang perbuatannya direkam dan disebarkan oleh orang lain tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka, maka untuk menentukan apakah layak dipidana atau tidak,  kita harus menganalisa dan mengkaji dulu beberapa hal sebelum memutuskannya. Harus melihat dulu terkait niat dan motif dari peruatan mereka . Niat dan motif dalam tindak pidana merupakan dua elemen dasar untuk membuat seseorang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan. Niat berarti tujuan melakukan sesuatu sedangkan motif menentukan alasan untuk melakukan suatu tindakan.

 

            Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena ia telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Meski perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan, hal ini belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Dalam konteks hukum pidana "niat jahat" merupakan "mental elements of crime". Dalam berbagai literatur common law, niat jahat ini disebut juga mens rea atau guilty mind. Dalam keluarga civil law, "niat jahat" berada dalam doktrin kesalahan (schuld). Kesalahan ini menjadi asas tersendiri "geen straf zonder schuld beginsel" yang dimaknai sebagai tiada pidana tanpa kesalahan. Ini artinya pertanggungjawaban pidana hanya bisa diberikan jika ada kesalahan pembuat (liability base on fault). Dengan kata lain, meskipun semua unsur tindak pidana dipenuhi, jika tidak terpenuhinya unsur kesalahan, maka pembuat tidak bisa dipidana. Dalam konteks ini, "niat jahat" menjadi faktor yang sangat menentukan dalam meminta pertanggungjawaban pidana seseorang. 

 

            Jika dihubungkan dengan permasalahan diatas yaitu adanya video asusila yang disebarkan melalui media sosial,  dengan mengedepankan restoratif justice, maka jika posisi penulis sebagai hakim, sudah selayaknya pasangan yang melakukan perbuatan asusila tersebut tidak dikenakan sanksi pidana dan harus diputus lepas, karena tidak mengandung unsur kesalahan. Namun jika dakwaan penuntut umum mengedepankan karena kelalaian mereka mengakibatkan terjadinya tindak pidana maka mungkin saja pasangan tersebut terkena sanksi pidana akibat kelalaian mereka yang menyebabkan orang lain bisa melakukan perekaman terhadap perbuatan mereka.

 

            Lalu bagaimana dengan si pelaku perekaman dan yang menyebarkan video asusila tersebut melalui postingan nya di media sosial dan telah meminta maaf,  juga sudah dimaafkan oleh si "korban" ?. Selain itu tidak ada niat jahat yang melandasi perbuatan si pelaku . Dalam banyak literatur hukum niat jahat diidentikan dengan kesalahan . Kesalahan sendiri diartikan sebagai sikap batin seseorang yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan, dan kelakuan tersebut mendapat celaan. Dalam konteks ini sikap batin tersebut selalu diwujudkan dalam bentuk kelakuan, karena sangat sulit menakar sikap batin yang jahat tersebut. Kesalahan sebagai sikap batin yang buruk, diartikan sebagai kemampuan untuk menduga akibat yang terlarang. Jika penulis diposisikan sebagai hakim yang mengambil keputusan maka, si pelaku perekam dan penyebar video asusila tersebut layak dijatuhi pidana baik terkait UU Pornograpi maupun UU ITE. Pelaku sudah dapat menduga akibat dari perbuatannya tersebut karena itu bentuk kesalahan yang dapat diidentikan dengan niat jahat. Disamping itu akibat perbuatannya itu dapat merugikan masyarakat luas yang tidak mungkin dia meminta maaf satu demi satu, kerugian yang nyata contohnya, jika video asusila tersebut diakses oleh anak-anak atau generasi muda, karena seperti penjelasan diatas informasi elektronik  saat ini sangatlah mudah diakses oleh semua kalangan, maka dapat dibayangkan dampaknya, belum lagi video asusila tersebut dapat menyebabkan potensi perbuatan pidana yang dilakukan oleh generasi muda, tentunya kerugianpun diderita oleh orang tua anak-anak tersebut, masa depannya pun berpotensi rusak dan terganggu. Maka sangat jelas dan clear penyelesaian restoratif justice harus dikesampingkan terhadap pelaku perekaman dan penyebaran video asusila tersebut, permintaan maaf nya dan telah dimaafkan oleh korban hanya dapat sekedar sebagai peringan hukuman yang bersangkutan .

 

            Penemuan Hukum merupakan aplikasi atau penerapan nyata dari Adagium Hukum :  Domiunt aliquando leges, nunquam moriuntur (Hukum terkadang tidur, tapi hukum tidak pernah mati) Tidak selamanya perbuatan pidana khususnya terkait UU ITE walaupun memenuhi unsur pidana wajib dikenakan sanksi pidana, banyak faktor yang dapat melepaskan tersangka atau terdakwa dari sanksi pidana, salah satunya penerapan   penyelesaian restoratif justice. Namun sebaliknya walaupun ada penyelesaian restorative justice dan perbuatan si pelaku  sudah dimaafkan korban, harus dilihat lagi akibat dari perbuatan tersebut dan dilihat juga kemampuan si pelaku untuk menyadari akibat dari perbuatannya, jika akibat perbuatannya itu dapat menimbulkan kerugian material dan non material yang berdampak luas, maka sudah selayaknya salah satu tujuan dari pemidanaan yaitu untuk membuat jera si pelaku diterapkan .

 

            Penemuan hukum khusus nya oleh hakim dan aparat hukum lainnya merupakan senjata ampuh bagi penegak hukum agar membuat hukum itu tidak tertatih-tatih dengan perkembangan zaman, dapat dibayangkan jika penemuan hukum tidak diterapkan dalam menegakkan keadilan, mungkin banyak peristiwa pidana yang belakangan ini muncul tidak dapat di pidana.

 

            Tinggal bagaimana usaha pemerintah agar pengetahuan aparat penegak hukum selalu diasah dan dikembangkan agar tidak tertinggal. Kemajuan teknologi boleh saja berkembang sangat cepat dan dinamis, namun tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan ruang daya pikir manusia yang paling dinamis dan dapat menyesuaikan dari segala jenis perkembangan zaman .       




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline