Lihat ke Halaman Asli

Mufraini Hamzah

karyawan swasta

Praktek Poligami Bukanlah Suatu Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Perempuan, namun Sebaliknya Pada Poliandri

Diperbarui: 12 November 2022   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara Republik Indonesia merupakan Negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tyang idak terlepas dari segala peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Sebagai Negara hukum tentunya  menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian. Namun satu hal tidak boleh terlupakan dan terabaikan adalah dijunjung tingginya hak hak asasi manusia dalam membuat suatu peraturan perundang undangan, atau dalam melakukan pengaturan terhadap kehidupan masyarakat tersebut, Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah suatu hak fundamental  yang dimiliki manusia yang melekat pada seseorang dari lahir bahkan saat masih dalam kandungan Ibunya.  

HAM tersebut juga tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya, selain itu HAM juga harus dihargai, dipelihara, dihormati dan dijaga baik itu oleh negara, hukum, pemerintah dan bahkan semua orang. Hubungan HAM sendiri dengan hukum sangatlah erat, bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat terpisahkan, yang mana jika mata uang tersebut hanya tampak satu sisi nya saja, maka hampir dapat dipastikan tidak ada nilainya samaskali. Demikian juga dengan HAM dan HUKUM, masing masing memberikan nilai dan arti kepada yang lainnya, oleh karena itu  semua hak terikat oleh hukum, kita mempunyai hak untuk melakukan sesuatu tapi hak itu dibatasi juga oleh hak orang lain. Disinilah hukum berperan mengaturnya agar tercipta kehidupan masyarakat yang tertib, damai, sejahtera dan bernilai . 

Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam menyusun suatu perundang undangan ataupun peraturan, si pembuat undang undang wajib memperhatikan hak hak asasi yang melekat pada manusia sebagai mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak terlepas dari interaksi sosial antara sesama nya ataupun dengan lingkungannya, demikian juga manusia itu sendiri dalam menerapkan hak asasi nya wajib memperhatikan pembatasan yang diatur oleh hukum yang telah  dijawantahkan kedalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. 

Negara Indonesia  sebagai negara hukum sangat menghargai dan mengedepankan hak asasi manusia,  sebagai negara hukum menghormati hak asasi manusia ini lah yang menjadikan alasan Indonesia untuk meratifikasinya International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) pada tahun 2005, yang diratifikasi kedalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dengan ratifikasi tersebut  maka ada konsekuensi yang harus dihadapi Indonesia dalam menegakkan hukum juga dalam membuat peraturan dan perundang-undangan, dimana wajib memperhatikan hak asasi manusia dalam hal ini khususnya hak sipil dan politik seseorang.

Memiliki dan menjalankan kehidupan yang aman,  bahagia dan mempunyai keturunan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, hak itu bisa didapatkan oleh manusia sebagai mahluk sosial  melalui perikatan perkawinan,  bahkan hal ini terdapat dalam Undang Undang Dasar 1945 amandemen ke IV pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi :

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Hal diatas mempertegas diakui nya sebuah perkawinan yang sah merupakan suatu Hak yang bisa  didapatkan oleh seseorang dan dilindungi Undang-undang, karena sedemikian pentingnya sebuah perkawinan itu untuk diatur,  maka dibuat dan disahkanlah Undang Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan ( UU Perkawinan )  yang beberapa pasalnya telah di ubah dalam Undang Undang No.16 tahun 2019 Tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada prinsipnya tidak ada satu pasangan pun di dunia ini yang melangsungkan perkawinan, namun tidak menginginkan kebahagian dari perkawinanya tersebut, seperti tersebut dalam UU Perkawinan Pasal 1 :  Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha.

 Di Negara Indonesia dengan berbagai macam suku bangsa dan agama, perkawinan adalah sesuatu yang bisa menimbulkan masalah atau konflik sosial jika tidak diatur dengan baik dan hati hati, hal ini dapat terlihat pada saat pembentukan UU Perkawinan banyak terjadi pro dan kontra, khususnya dari kalangan Islam. Mengapa terjadi pro dan kontra tersebut ? Hal yang berpotensi menimbulkan konflik sosial ini karena masing masing agama yang hidup di Indonesia ini mempunyai aturan dan hukum sendiri terkait perkawinan, dan  juga begitu majemuknya adat istiadat dari suku yang ada di Indonesia. Masing masing Suku tersebut  mempunyai aturan dan adat istiadat tersendiri  dalam adat istiadat  perkawinan, hal itu menyebabkan tidak lah mudah membuat undang undang perkawinan yang universal  dapat diterima semua pihak dan tetap melindungi hak hak asasi manusia dan menjunjung norma agama serta adat istiadat  yang hidup di masyarakat. Banyak hal yang timbul akibat sebuah perkawinan, namun penulis kali ini mengangkat suatu permasalahan terkait Paktek Poligami yang hidup dalam masyarakat Indonesia .

            Pada prinsipnya perkawinan di Indonesia menganut system Monogami, dimana satu orang hanya boleh terikat oleh satu perkawinan yang sah seperti ditegaskan dalam UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan ) pasal 3 ayat 1 : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun untuk mengakomodir hukum Agama dan adat yang hidup di Masyakarat , maka dibuatlah Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan yang memberi peluang kepada seorang Suami untuk mempunyai lebih dari satu orang Istri ( Poligami ) : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.  

Hal ini bertolak belakang dengan kesempatan seorang istri yang mana tidak ada satu pasal atau ayat pun dalam UU Perkawinan yang mengatur seorang Istri boleh bersuami lebih dari seorang ( Poliandri ), artinya bagi seoarng Istri hanya berlaku  ke pasal 3 ayat 1 diatas, yaitu seorang Istri hanya boleh mempunyai seorang suami .

Timbul pertanyaan apakah  UU Perkawinan  ini diskriminatif  terhadap perempuan dan hak seorang istri, apakah benar pasal 3 UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan  Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan -The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi CEDAW, 18 December 1979) yang telah diretifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang Undang No.7 Tahun 1984, apalagi UU Perkawinan ini dibuat sebelum konvensi CEDAW dan retifikasinya,  yang membuat seolah olah UU Perkawian tidak sejalan dengan konvensi CEDAW. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline