Kosmopolitanisme Islam adalah sebuah konsepsi yang mengkorelasikan prinsip-prinsip kosmopolitanisme dengan ajaran-ajaran Islam. Kosmopolitanisme sendiri secara umum merujuk pada ide bahwa semua manusia, terlepas dari latar belakang nasional, etnis, atau budaya mereka, memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang seharusnya diperlakukan setara di seluruh dunia.
Dalam konteks Islam, kosmopolitanisme ini menekankan pada nilai-nilai universal yang terdapat dalam ajaran Islam, seperti persaudaraan, keadilan, dan rasa saling menghormati di antara semua umat manusia. Hal ini termanifestasikan dalam ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist yang mendukung persatuan umat manusia dan hubungan harmonis antara berbagai kelompok.
Rangkaian ajaran-ajaran yang termanifestasikan tersebut meliputi berbagai aspek, seperti yurisprudensi Islam (fiqih), keimanan (tauhid), etika (akhlak), dan sikap hidup yang mencerminkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan (al-insaniyyah). Sikap kepedulian terhadap unsur kemanusiaan tersebut juga sekiranya harus diimbangi dengan kearifan yang muncul atas keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Keterbukaan yang menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak perabadan-peradaban lain. Keterbukaan terhadap ide-ide baru inilah yang menjadi watak kosmopolitanisme Islam yang menekankan nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan solidaritas antar umat, terlepas dari perbedaan budaya, etnis, atau agama.
Ketegangan Intelektual Sebagai Promotor Universalisasi Ajaran Islam
Selama empat abad pertama sejarah Islam, para pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka. Kaum Mu'tazilah yang eksis pada kala itu tampil dengan bebas dalam sebuah dialog yang mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an itu diturunkan dalam bentuk huruf dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka.
Sesuatu yang mungkin sekarang akan diklaim sebagai sikap seorang yang murtad dari agama Islam, adalah pertanda bahwa kuatnya watak kosmpolitan dari peradaban Islam itu sendiri. Dari proses dialog serba dialektik inilah pada akhirnya memunculkan koreksi budayanya sendiri yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari dan al-Maturidi yang berujung pada ilmu kalam dari kaum Sunni.
Koreksi itu-pun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai sebuah tuntutan, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Walaupun pada akhirnya, seiring berjalannya zaman, watak kosmopolitanisme Islam mulai terputus ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah dan memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari sebagai kebenaran ajaran Islam.
KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gusdur (seorang tokoh yang mempelopori Islam kosmopolitan di Indonesia) menyimpulkan dalam tulisannya,
Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim).