Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Apakah Wajar?

Diperbarui: 30 Maret 2021   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Bambang Suryadi dari Pexels

Di saat kurenungkan suatu hal aku merasa mendesak saat kurenungkan itu. saat kubuat kesalahan aku dengar kata-kata yang membuatku cengang. saat ku berbaik hati aku di diamkan. aku merasa diriku adalah hembusan angin yang tak berguna. saat ku berjalan aku di hindari, di jauhi, bahkan di hina. aku bertanya-tanya pada diriku "apa yang terjadi" di saat ku sadari adalah aku seekor kecoak yang jorok dan tak punya akal. bahkan semua menganggap derajat ku lebih rendah dari lalat hijau yang oleng itu. orang tuaku mati saat seekor katak besar memakanya, mereka berusaha menyelamat kan ku, dan aku sekarang hanya tinggal sendiri di lubang selokan itu. terkadang aku hampir saja mati terinjak oleh kaki yang besar itu. meski begitu aku yakin pasti ada jalan yang akan menghentikan kehidupan ku yang sekarang seperti ini,  menjadi lebih baik 

Saat musim kemarau tiba, biasanya selokan itu tak sekering ini. malah tetap mengalir deras airnya. tapi kali ini selokan itu kering kerontong. semua hewan yang tinggal di seloan itu mati kekeringan, termasuk semut yang di anggap memiliki derajat paling tinggi di selokan itu. aku berjalan menusuri selokan itu hingga sampai pada tempat di mana tak ada hewan lain yang tinggal di sana dan tempat itu memiliki fatamorgana yang membutakan pandangan ku sekaligus membuatku menjadi pusing, bahkan hampir pingsan. 

Lalu aku menemukan sebuah batang kayu besar yang menyumbat beberapa benda lain yang tentu saja membuat air menjadi tersumbat. lalu aku lari ke tempat asalku dan berusaha memberitahu mereka dan mereka hanya melototiku dan mendorongku dan meninggal kan ku aku kecewa dan pergi kesarang ku kembali

Dua bulan berlalu, selokan itu masih kering dan aku masih berusaha menberi tahu mereka karna tak ada pilihan lain mereka mengikutiku dengan syarat "jika aku benar aku akan di muliakan tapi jika aku salah maka aku akan di usir dari selokan itu" aku pun setuju dengan kesepakatan itu. kami berjalan jauh dan sampai juga akhirnya. dan mereka semua menyaksikannya sendiri dengan mata dan kepala mereka. dan mereka diam. 

Seketika suasana hening di tengah fatamorgana itu. dan salah satu dari mereka berkata "apa kita akan memuliakan kecoak itu" dan satu persatu mereka mengatakan "ya" dan mereka berusaha membuka sumbatan itu aku juga ikut serta. dan berhasil. lalu kami kembali tapi kali ini berbeda. aku di persilahkan untuk jalan lebih dahulu alias memimpin jalan. aku senang berkat tekad dan rasa percaya diri ku aku bisa jadi seperti ini. seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline