"Huuu dasar udik.....!!!" Pernahkah kamu dikatakan seperti itu?. Udik, berasal dari sebuah kosakata bahasa Jawa yang berarti arah hulu sungai, pegunungan, atau kampung/desa. Kata udik acap kali dikonotasikan dengan bebal, bodoh, bego, kampungan dan beberapa kata negatif lainnya. Menurut saya "udik" adalah sebuah reaksi terhadap sesuatu yang belum pernah tercerna panca indra kita. Reaksi tersebut bermacam-macam tergantung seberapa 'jaimnya' kamu,hehe. Ada yang mencoba menyentuh, ada yang merasa takut, ada juga yang hanya sekedar berkata "wahhh" lalu mulai melontarkan berjuta pertanyaan yang membosankan dan menyesakkan.
Bagi sebagian orang, kata 'Udik' adalah sebuah kata yang sangat nikmat ketika diucapkan kepada orang lain dengan lantang sembari mentertawakan atau hanya "ishhh", entah apa maksudnya, terkadang hanya demi menunjukkan bahwa derajat 'Si pencela' tersebut lebih unggul (belum tentu kalee). Jujur bro, ketika dikatakan/dianggap udik itu sakitnya di sini (ngelus dada). Dan masalahnya ketika seseorang dikatakan udik itu tidak hanya berpengaruh secara mental pada 'si udik' tapi juga orang di sekitarnya (Sorry bro terkadang aku lupa ingatan tentang siapa kamu ketika kamu bersikap udik apalagi sampe dikatain).
Kecanggihan teknologi berbasis internet dan kemudahannya seharusnya tidak lagi menimbulkan fenomena udik. Namun mesti kita tau bahwa di luar sana masih saja ada sebagian masyarakat kita yang belum terjamah olehnya. Entah, mungkin karena mereka terlalu menghitung-hitung rupiah yang akan dikeluarkan demi menikmati manfaatnya. Tidak sedikit juga yang menganggap bahwa itu tidak penting sehingga mudah mengabaikannya, atau merasa tidak ada waktu untuk hal-hal yang demikian.
Jika kamu mendapati 'si udik', sikap yang seharusnya kamu tunjukkan adalah berusaha memberi informasi tentang apa dan bagaimana seharusnya sesuatu itu bekerja. Tidak harus memberikan semacam les privat, tapi alangkah baiknya jika kita tidak menyombongkan diri dan merasa risih, tidak juga hanya kepada orang-orang yang kamu kenal atau ketika berada dalam obrolan di sebuah kedai kopi saja misalnya. Cukup dengan kata-kata yang sedikit ramah, "Oh ini harusnya begini ...", "Mas/mbak, harusnya seperti ini ...", bukan justru dikatakan udik. Jika kamu gemar 'mencela' dan menganggapnya lucu seperti yang 'dibudayakan' pada acara-acara komedi di pertelevisian kita, maka sesungguhnya kamu berada dalam suatu budaya yang salah, sementara itu kita sendiri justru mengagumi para turis yang baru datang ke Indonesia, ketahuilah bahwa mereka sebenarnya adalah orang udik.
Saya membayangkan suatu budaya, dimana setiap dari kita yang paling banyak tau serta ikhlas menularkan pengetahuannya kepada orang lain mendapat predikat tertinggi. Tentu cara menularkannya dengan cara yang baik tanpa memberi kesan negatif kepada si udik. Kamu juga patut berbangga diri karenanya. Penyebaran informasi dari orang ke orang adalah suatu metode penyebaran informasi tertua namun masih sangat efektif. Cepatnya arus informasi media berteknologi tinggi sebenernya juga tidak terlepas dari metode tersebut, karena tidak semua orang dapat mengaksesnya secara langsung selain itu manusia memiliki keterbatasan.
Fenomena udik atau orang yang dikatakan/dianggap udik seharusnya tidak menjadi bahan tertawaan. Selain itu, mencela seperti yang 'dibudayakan' di berbagai acara komedi pertelevisian kita, harus kita tolak dengan keras dan tetaplah untuk menjadi orang yang beradab. Ketahuilah, ketika kamu mencela dengan kata "Udik", sesungguhnya kamu sedang mencela diri sendiri karena udik terhadap orang udik. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H