Tahun demi tahun berganti. Suka cita yang sama. Eforia yang sama. Mimpi yang sama. Yang akan selalu berbeda adalah mimpi. Mimpi berubah seiring tahun berganti.
Tiap orang memimpikan hal-hal yang lebih baik di tahun selanjutnya. Hubungan yang membaik. Keadaan ekonomi yang membaik. Kemampuan yang meningkat. Pemahaman yang lebih tinggi. Karir yang lebih baik. Tempat jelajah yang lebih banyak.
Di tahun-tahun sebelumnya, saya rutin membuat resolusi tahun baru. Mimpi-mimpi, yang juga dimiliki semua orang, saya tuliskan menjadi resolusi. Tapi saya sampai pada suatu titik, dan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa? Mengapa saya harus melakukan itu?”
Setelah membaca berbagai tulisan, saya menyimpulkan bahawa resolusi lebih bermakna pada janji pada diri kita sendiri, bahwa di tahun berikutnya kita akan melakukan hal-hal yang tertulis.
Namun, yang terjadi di penghujung tahun, justru rasa malu tersembul ketika melihat kembali daftar resolusi tahun lalu. Ternyata sebagian besar dari target belum tercapai. Perasaan bersalah dan menyesal pun menghampiri.
Saya melihat, orang-orang yang inspiratif memahami bahwa impian mereka tercapai karena mereka menetapkan goal jangka panjang, sebuah visi hidup. Kemudian visi itu didukung oleh kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan tiap hari.
Misalnya, menyempatkan membaca minimal satu buku tiap bulannya, bukanlah sesuatu yang mereka harus lakukan karena itu target mereka, tapi karena itulah mereka.
“Your playing small does not serve the world. There is nothing enlightened about shrinking so that other people will not feel insecure around you. We are all meant to shine, as children do. It is not just in some of us; it is in everyone, and as we let our light shine, we unconsciously give others permission to do the same. As we are liberated from our fear, our presence automatically liberates others.” – Marianne Williamson
Seperti anak-anak, saat memasuki tahap dewasa kita juga punya hak untuk bersinar di panggung kita masing-masing. Menjadikan diri sosok yang didambakan. Menginvestasikan detik demi detik untuk mengembangkan pemikiran, mempelajari hal baru, dan mengubah persepsi tentang hidup.
Di titik ini, kesadaran muncul bahwa tidak ada yang berjalan sempurna tanpa cacat. Akan selalu ada ketidaksempurnaan yang mengisi jalannya sebuah perjalanan hidup di tahun berikutnya. Seperti backpacker yang mengarungi perjalanan, hal-hal tak terduga di luar itinerary akan menemui. Tapi, apakah hal-hal tersebut akan membuat perjalanan gagal? Tanyakan mereka, justru di sanalah perjalanan jadi punya cerita, disitulah kenikmatan sebuah perjalanan.
Hal-hal tak terduga tersebut akan menjadi faktor di luar kendali saya, baik sebagai individu maupun sebagai manusia. “Some things are up to us, and some things are not up to us.” kata Epictetus, seorang filsuf. Sepertinya, sudah saatnya saya fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol, yaitu sikap ketika menghadapi hal-hal tersebut.