Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Sensor terhadap Pengembangan Koleksi Perpustakaan (Studi Kasus di Lima Asosiasi Perpustakaan)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1. Pendahuluan

Hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk bebas berpendapat atau berekspresi (freedom expression) tidak selalu bebas hambatan. Selalu saja ada konflik kepentingan (conflict of interest) yang memasung kebebasan tersebut. Padahal ketika seseorang tidak dapat dengan leluasa menuangkan pikiran baik lisan maupun tulisan karena hambatan-hambatan tersebut, maka pemikirannya itu menjadi tidak produktif dan jumud alias tidak berkembang. Bila hal ini terus menerus terjadi maka peradaban (civilization) juga akan berhenti.

Hambatan-hambatan tersebut bisa berupa penolakan (denial) penyebaran pemikiran, pelarangan (prohibition) dan pemberiaan sanksi (penalties) terhadap hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam media-media seperti buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain. Dalam isu intellectual freedom, persoalan ini lebih dikenal dengan istilah sensor.

Jelas sekali bahwa pasal 19 dari deklarasi hak asasi manusia tersebut menjamin hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mencakup kebebasan mempertahankan pendapat, aliran, faham, dan lain-lain tanpa interferensi. Disamping itu juga mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan melalui media apapun. Negara boleh melakukan sensor ataupun campur tangan demi kepentingan negara sesuai yang diamanatkan dalam deklarasi hak asasi manusia sedunia.

Dari realitas di atas, maka tulisan ringkas ini akan mencoba membahas sekelumit tentang penerapan sensor di perpustakaan dalam hal ini yaitu kebijakan sensor perpustakaan dan pengaruh sensor bagi pengembangan koleksi perpustakaan dengan mengkaji dan menganalisis beberapa kebijakan yang dibuat oleh asosiasi perpustakaan di dunia, termasuk pula yang dilakukan oleh Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI).

2. Kebijakan Sensor di Beberapa Asosiasi Perpustakaan di Negara-Negara Maju Dan Negara Berkembang

Perpustakaan merupakan lembaga yang berperan mengumpulkan, mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat, sangat bersentuhan langsung dengan seluk beluk sensor ini. Karena bahan pustaka seperti buku, majalah, dan surat kabar adalah koleksi yang sering sekali menjadi objek sensor tersebut. Penerapan sensor dapat menghambat perpustakaan dalam menjalankan tugasnya yakni mengumpulkan, mengelola, dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itulah, beberapa perkumpulan atau asosiasi perpustakaan terutama sekali yang ada di luar negeri telah menyusun beberapa kebijakan atau statement problematika sensor ini.

Asosiasi perpustakaan yang dijadikan studi kasus di sini adalah empat asosiasi dari negara maju  (IFLA, LIANZA, LA, ALA, dan  satu asosiasi dari negara berkembang (IPI).

- IFLA (The International Federation of Library Association And Information)

Pada konferensi IFLA (The Council Of The International Federation Of Library Association And Information) ke-25 di Paris tahun 1989, IFLA mengeluarkan resolusi tentang kebebasan berekspresi, sensor, dan perpustakaan (resolution on freedom of expression, censorship, and libraries). Resoluisi tersebut memuat tentang:


  1. Pencabutan (recalling) resolusi yang dikeluarkan di Munich tahun 1983 karena cenderung melanggar HAM para pustakawan.
  2. Mendorong para pustakawan dan asosiasi mereka untuk secara global mendukung pelaksanaan Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights.[1]

3. Menginstruksikan kepada presiden IFLA untuk campur tangan (intervene) menggunakan cara yang tepat dengan pemerintah yang berwenang mengenai freedom of expression.[2]

- LIANZA (The Library and Information Association of New Zealand)

The Library and Information Association of New Zealand(LIANZA) tahun 2002 mengeluarkan pernyataan tentang kebebasan intelektual sebagai berikut:

1). Masyarakat menciptakan perpustakaan sebagai lembaga untuk menyimpan dan membuat pengetahuan, informasi, dan gagasan-gagasan tersedia, dan untuk memfasilitasi belajar dan kreativitas dalam setiap bidang. Setiap perpustakaan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan para penggunanya dengan jangkauan seluas mungkin bahan-bahan informasi, relevan bagi kebutuhan penggunanya dan yang mewakili spektrum sudut pandang pada topik yang sesuai masyarakat pengguna.

2). Pustakawan mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan dan ketersediaan bahan-bahan informasi diatur semata-mata oleh pertimbangan profesional. Pertimbangan profesional ini termasuk penggunaan pengetahuan, keterampilan, manajemen koleksi pengalaman, dan kebijakan pengembangan koleksi untuk membuat keputusan tentang bahan pustaka apa yang akan dipilih untuk koleksi perpustakaan.

3). Tidak ada sumber-sumber informasi harus dikecualikan dari perpustakaan karena mengungkapkan pendapat mereka; juga bukan karena siapa pengarang; atau atas dasar kedudukan politik, sosial, moral atau tampilan lain dari penulis.

4). Tidak ada bahan pustaka harus disensor, terbatas, disingkirkan dari perpustakaan, atau memiliki akses kepada mereka ditolak karena partisan atau doktrinal ketidaksetujuan atau tekanan. Hal ini termasuk akses ke sumber daya informasi berbasis web.

5). Pustakawan harus melawan semua upaya sensor, kecuali bahwa sensor diperlukan oleh hukum. Pustakawan bebas untuk meminta, dan untuk melobi, pencabutan undang-undang untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam pernyataan ini.[3]

- LA (The Library Association)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline