Lihat ke Halaman Asli

Mufdil Tuhri

Peneliti Independen

Sebuah Catatan Kritis: Incung untuk Kerinci

Diperbarui: 9 Agustus 2020   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mendukung keberadaan bahasa daerah. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

"Naskah Melayu itu bertuliskan Aksara Incung. Naskah Incung dapat ditemukan dalam peninggalan-peninggalan bertulis leluhur Kerinci yang disimpan dengan sangat rapi di masing-masing rumah gedang." 

Dalam salah satu obrolan dengan teman saya, seorang penggiat budaya di Kerinci, saya tersentak dengan curhatannya yang mengatakan bahwa seorang petinggi pemerintah tidak setuju jika incung dijadikan sebagai salah satu muatan lokal di mata pelajaran sekolah di Kerinci.

Bukan dalam kapasitas benar tidaknya informasi itu, saya memahami pernyataan penggiat budaya ini dalam dua hal. Pertama, ia menyampaikan dalam sesi ngobrol santai bersama dengan rekan-rekan yang bergerak di Komunitas Studi Kerinci. Saya menduga ia tidak bicara dalam basa basi. Ini bisa jadi benar adanya.

Kedua, memang pada kenyataanya bahwa saya sendiri yang menghabiskan wajib sekolah 12 tahun saya di Kerinci tidak pernah mendapat pendidikan muatan lokal itu. 

Demikian juga, saya coba tanya kepada keponakan saya yang masih di sekolah dasar, dia juga mengatakan "tulisan incung itu apa?" katanya. Bahkan, ponakan saya yang sekolah di salah satu Madrasah Aliyah di Kerinci juga pernah kaget dan bertanya kepada saya tentang tulisan apa yang ada di bawah papan nama jalan di Sungai Penuh. Ia menyebut, "mirip tulisan india", katanya.

Saya ingin melanjutkan pernyataan teman saya itu, katanya, "bapak itu ingin jika yang diajarkan adalah aksara arab dan bahasa Arab bukan aksara Incung apalagi bahasa lokal. Katanya, itu lebih sesuai dengan Kerinci yang Islam, dan bahasa Arab adalah bahasa Islam yang dipakai dalam doa-doa."

Muncul dalam benak saya saat itu bahwa ada problem yang mendasar di Kerinci saat ini. Ada keengganan dari pemerintah lokal untuk menjadikan incung sebagai muatan lokal dapat dilihat sebagai problem budaya secara umum.

Hanya saja, saya tidak begitu ingin mengonfirmasi kepada pemerintah atau Dinas Kebudayaan tentang problem ini. Namun, saya ingin memahami masalah budaya di Kerinci dalam perspektif yang lebih luas.

Kerinci, Budaya Turun Temurun yang Dipraktikkan

Dalam laporan sejarah, Kerinci sudah mempraktikkan Islam sejak kedatangannya sekitar abad 14-15 silam. Belakangan, Uli Kozok berpendapat bahwa Naskah Melayu tertua di Dunia berada di Kerinci. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline