Lihat ke Halaman Asli

Mufas Al Maqdisi

Student of Sharia and Law

Ushul Fikih; Sebuah Pengantar

Diperbarui: 19 September 2023   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perbedaan pendapat di kalangan ulama, terkhusus dalam ranah fikih, adalah realitas umat Islam yang harus kita terima. Kita tidak perlu bersusah payah membatalkan kebolehan perbedaan pendapat di kalangan ulama dengan berdalih untuk menyatukan umat, sebagaimana yang digaungkan oleh sekelompok orang. Terlebih lagi mereka berusaha mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis dan meninggalkan pendapat para ulama.


Imam Malik bin Anas yang merupakan salah satu imam mazhab fikih Ahlus Sunnah pun mengakui bahwa perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu adalah hal yang lazim terjadi. Di mana suatu ketika saat musim haji, Khalifah Harun Al-Rasyid yang kala itu juga melaksanakan haji mendengar pembicaraan orang-orang tentang kitab Al-Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik. Khalifah ingin menyimpan kitab Al-Muwaththa di Kakbah dan menyeru umat untuk mengamalkan pendapat Imam Malik dalam kitabnya.
Namun, Imam Malik menyampaikan sudut pandang lain yang berbeda dengan maksud sang Khalifah, "Engkau tidak perlu melakukan hal tersebut, wahai Khalifah. Sungguh Para Sahabat Rasulullah Saw. berbeda pendapat dalam permasalahan fikih. Mereka juga menetap di daerah yang berbeda-beda. Semuanya insya Allah  --meskipun berbeda pendapat dalam suatu permasalahan-- mendapat pahala dari Allah Swt." Khalifah Harun Al-Rasyid pun setuju dengan Imam Malik.


Dari penjelasan Imam Malik tadi, kita memahami bahwa jika Para Sahabat yang diajar langsung oleh Rasulullah Saw. dan menyaksikan turunnya wahyu bisa saling berbeda pendapat, maka hal ini juga pasti terjadi di generasi selanjutnya. Bahkan, Rasulullah Saw. secara tidak langsung telah mengakui dan memberi isyarat bahwa para ulama akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap dalil, yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat. Hal ini sebagaimana terjadi dalam salah satu momen perang Bani Quraizhah.


Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw. mengintruksikan Para Sahabat untuk berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah. Bahkan, agar Para Sahabat bergegas dan tiba dengan cepat, Rasulullah Saw. bersabda

"Janganlah ada seorang pun yang melaksanakan salat Asar kecuali di Bani Quraizhah." (HR. Bukhari)


Sebagian Sahabat melaksanakan salat Asar ketika mereka sampai di Bani Quraizhah, sebagaimana hadis Nabi Saw. secara lahiriah. Akan tetapi, Sahabat lainnya  melaksanakan salat Asar di tengah perjalanan menuju Bani Quraizhah. Kelompok Sahabat ini memahami bahwa maksud larangan Nabi Saw. dalam Hadis di atas adalah agar Para Sahabat mempercepat langkahnya. Beberapa waktu kemudian, Para Sahabat memberanikan diri untuk bertanya mengenai perbedaan yang terjadi di kalangan mereka dalam memahami sabda Beliau Saw. Akan tetapi, Rasulullah Saw. tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.


Lalu, mengapa para ulama di berbagai lintas generasi bisa berbeda pendapat dalam permasalahan fikih?


Sebelum lebih lanjut membahas hal ini, perlu ditegaskan bahwa para ulama --yang telah memenuhi kriteria sebagai mujtahid dan memiliki otoritas untuk berpendapat-- tidaklah menetepkan suatu hukum atas permasalahan tertentu berdasarkan keinginan dan hawa nafsu. Akan tetapi, dalam menetapkan suatu hukum fikih, para ulama berpegang pada dalil dan kaidah yang diperoleh melalui penelitian terhadap ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Maka, ketika kita berpegang kepada salah satu pendapat ulama, secara tidak langsung kita telah berpegang dan kembali kepada Al-Quran dan Hadis.


Salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah adanya perbedaan metode dan kaidah yang mereka gunakan untuk merumuskan hukum. Fikih yang merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap dalil telah melalui proses penggalian dengan metode dan seperangkat kaidah yang ada. Metode dan kaidah tersebut dibahas secara komprehensif dalam satu disiplin ilmu yang diistilahkan dengan Ushul Fikih.


Sebagai pengantar, untuk memahami Ushul Fikih, dalam konteks ini kita perlu memperhatikan makna Ushul Fikih sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajib. Dalam kitab Mukhtashar al-Muntaha beliau memberikan pengertian Ushul Fikih secara terminologi sebagai berikut

Ilmu tentang seperangkat kaidah yang dengannya bisa diketahui (metode) pengambilan hukum syarak yang bersifat cabang (praktis) melalui dalil-dalil terperinci.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline