Lihat ke Halaman Asli

Mudzoffar AbdulHaq

Mahasiswa STEI SEBI

APLIKASI KAIDAH FIQHIYYAH AL YAQINU LAA YUZAALU BISSYAKIN DALAM FATWA DSN MUI

Diperbarui: 27 November 2023   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

A. Pendahuluan

Kaidah fiqhiyyah merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki urgensi tinggi dalam kehidupan manusia. Keberbedaannya dengan ushul fiqh terletak pada patokan objek hukumnya, yang dalam hal ini adalah mukallaf itu sendiri. Dalam konteks qawa'id al-ahkam atau kaidah fiqhiyyah, terdapat kaidah kubra atau kaidah asasiyyah yang terdiri dari lima prinsip dasar. Kaidah qubra ini memiliki landasan nash atau dalil yang tidak diragukan lagi karena bersumber dari Al-Qur'an dan hadits.

Salah satu kaidah kubra yang mencolok adalah "al-yaqinu laa yuzaalu bissyakin," yang artinya keyakinan tidak dapat dihapuskan oleh keraguan. Kaidah ini memiliki sebelas cabang, yang telah dijelaskan oleh para ahli fukaha, beserta syarat-syarat dan penurunan kaidah ini dalam konteks tertentu. Penerapan kaidah ini mencakup berbagai bidang, seperti ubudiyah (ibadah), mu’amalah (transaksi), jinayah (hukum pidana), hingga siyasah (politik).

B. Difinisi Kaidah

Kaidah al-yaqinu la yuzaalu bisyakkin adalah suatu prinsip dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa keyakinan yang telah teguh tidak akan terhapus oleh keraguan. Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap hukum yang didasarkan pada keyakinan tertentu tidak akan dipengaruhi oleh keraguan-raguan yang muncul kemudian. Keragu-raguan dianggap sebagai unsur eksternal yang muncul setelah keyakinan, dan tidak mampu menghilangkan keyakinan yang telah ada sebelumnya.

Kaidah ini menekankan bahwa suatu keyakinan yang telah mantap pada suatu perbuatan atau keputusan tidak akan tergoyahkan oleh keraguan yang muncul di belakangan. Kemantapan hati terhadap suatu objek yang telah dilakukan dapat mencapai tingkat pengetahuan yang mantap atau hanya sebatas dugaan kuat asumsi atau dzan. Oleh karena itu, kemantapan hati yang disertai dengan keraguan pada saat pelaksanaan suatu pekerjaan tidak dianggap sebagai keyakinan yang sejati. Hal-hal yang masih bersifat ragu atau menjadi tanda tanya tidak dapat disamakan dengan sesuatu yang telah diyakini.

 

C. Penerapan Kaidah dalam Fatwa MUI

 

1. Fatwa DSN MUI (151/DSN-MU/VI/2022) tentang Akad Samsarah

Berdasarkan isi dari Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia tentang Akad Samsarah, dapat disimpulkan bahwa Akad Samsarah merupakan sebuah mekanisme keperantaraan yang dapat digunakan dalam berbagai jenis bisnis dan lembaga keuangan syariah. Fatwa ini memberikan panduan yang rinci dan jelas mengenai prinsip-prinsip syariah yang harus diperhatikan dalam Akad Samsarah, serta cara mengimplementasikannya dalam bisnis properti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline