Lihat ke Halaman Asli

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah

Diperbarui: 14 Februari 2016   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allah telah menciptakan dan mengatur alam semesta dan semua makhluk yang berada di dalamnya, tentu saja Dia pula yang memiliki kehendak dan kekuasaan yang mengatasi kehendak dan kekuasaan makhluknya. Akan tetapi, apakah kehendak dan kekuasaan Allah tersebut bersifat mutlak ataukah terbatas, para ulama kalam berbeda pendapat dalam menghadapinya.

Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam, terdapat pula mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Bagi aliran ynag berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar, kekuasaan Allah pada hakikatnya tidaklah bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berbeda pendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tetap bersifat mutlak.

Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak dan kekuasaan yang terbatas meskipun yang membatasinya adalah kehendak Nya sendiri. Menurut Mu’tazilah, yang membatasi kehendak dan kekuasaan Allah itu adalah: Kebebasan yang telah diberikan kepada Nya kepada manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya, Sunnah Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluk Nya, Norma keadilan, Kewajiban yang telah ditetapkannya atas dirinya terhadap manusia.

Sebaliknya, Asy’ariyyah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, Dia dapat berbuat apa saja terhadap makhluk Nya sesuai dengan kehendak nya tanpa ada yang membatasi dan melarangnya. Bahkan dia dapat saja memberikan hidayah dan menyesatkan hamba-hambanya secara paksa, memasukkan orang-orang kafir dan jahat ke dalam surge. Di pihak lain, Salafiyyah dan Maturidiyyah khususnya Samarkand,meski mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak, mereka juga mengakui bahwa Allah tidaklah berlaku sewenang-wenang terhadap hamba-hambanya.

 

Perbedaan aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah

o    Mu’tazilah

Aliran ini berpendapat, bahwa kekuasaan Allah sebenarnya tidak mutlak lagi. Karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan Allah kepada manusia dalam menentukan kekuasaan dan perbuatan. (Nasution, 1986: 119)

Oleh sebab itu dalam pandangan Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak mutlak Allah berlaku dalam jalur hukum‑hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya kemutlakan kehendak Allah menjadi terbatas. (Yunan Yusuf, 1990: 74) Mereka berkeyakinan, bahwa Allah telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. (Nasution, 1991: 105)

Dengan demikian aliran Mu’tazilah memandang, bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak Allah, bahkan Allah menciptakan manusia sekaligus menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia. (Makki, 1952:  26)

Mu’tazilah menguatkan pendapat mereka berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Allah, maka ia tidak akan dibebani kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al‑Quran, antara lain Q.S. Al‑Kahfi (18): 29, yang artinya 29. “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Allahmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline