Mobil berhenti tepat di pekarangan sebuah rumah dengan bangunan kokoh berornamen kayu jati dengan ukiran Jepara yang khas. Tiar bernafas lega, mata bulatnya memandang sekeliling, rindu yang bertahun-tahun terpasung meronta untuk dibebaskan.Seorang laki-laki dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih keluar, senyumnya mengembang saat sepasang mata tuanya menatap sosok perempuan yang baru turun dari mobil yang ditumpanginya.
"Apa kabar, Paklek?" sapa perempuan bertubuh mungil sambil mencium punggung tangan laki-laki yang dipanggilnya Paklek.
"Alhamdulillah, Nduk. Kamu kemana aja kok lama ndak ada kabarnya? Ini tadi langsung dari Surabaya?" Laki-laki tua itu menepuk-nepuk punggung keponakannya. Tiar tertawa lebar.
"Bulekmu ada di belakang," ujar laki-laki itu lagi, seakan bisa membaca pikiran Tiar, "ayo, langsung aja ke belakang, Nduk!"
"Eee, kok njanur gunung, toh. Mimpi apa kamu nyampe sini?" Seorang perempuan bertubuh kurus tergopoh-gopoh keluar, matanya berbinar, sepasang tangannya mengembang menyambut keponakannya yang menghambur ke arahnya.
"Apa kabar, Bulek?" tanya Tiar sambil mencium pipi perempuan yang dipanggilnya Bulek.
"Alhamdulillah, Nduk. Yo wes ngene iki paklek sama bulekmu, sudah tua," ujar perempuan berusia enam puluhan. "naik apa tadi dari Surabaya? Lha, apa bisa jalan to mobilnya, ndak kena cegatan?"
"Bareng sama teman yang kebetulan tugas ke Magelang, Bulek."
"Enak kalo gitu, ndak kena cegatan."
"Oya, Mbak Dini apa kabarnya, Bulek?"
"Mbakyumu kabare yo apik, cuma tahun ini ndak jadi pulang lagi wong katanya ndak boleh mudik. Padahal bulekmu ini udah kangen dua kali lebaran mbakyumu itu ndak pulang."