Lihat ke Halaman Asli

Tari Abdullah

Freelancer

Atas Nama Cinta

Diperbarui: 27 Mei 2020   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/atas nama/photo:doc.pri


Lintang mencoba menghubungi Remund, namun beberapa hari ini  ponsel laki-laki berdarah campuran Indonesia Jerman itu tidak aktif. Satu hal yang tak biasa, ada cemas dan ragu yang menggelitik. 'Semoga hanya karena sibuk' bisik harap Lintang.

Ingatannya melayang pada tiga tahun lalu, saat ia dan Sultan kehilangan kontak, Lintang pun harus kehilangan laki-laki yang dicintainya. Ada rasa takut, trauma dan berharap hal serupa tak mengulang kisah yang sama.

Beberapa kali Lintang terpekur dalam diam, waktu terus berganti. Sementara hati Lintang masih terperangkap dalam dualisme yang tak mampu ia perangi. Kemarin Pak Arif sudah menanyakan sejauh mana persiapan serah terima jabatan kepada calon yang akan menggantikan posisinya, juga rencana tanggal keberangkatannya ke Jakarta, tapi Lintang cuma bergeming tanpa sepatah kata.

Jam istirahat siang, Lintang enggan meninggalkan meja kerjanya. Tumpukan laporan menunggu untuk dievaluasi, beberapa berkas harus ditanda-tangani sebelum diajukan pada Pimpinan Cabang.

Lintang menyugar kasar, pikirannya penat. Belum pernah ia begitu tak bersemangat mengerjakan tugas-tugasnya. Lintang membuka email pribadinya, biasanya ia mendapat info menarik tentang film-film baru atau artikel-artikel lucu dari grup.  Membukanya sebentar, akan menurunkan tensi pikirannya yang berkecamuk.

Lintang mengecek satu persatu email yang masuk, tak ada yang menarik minatnya, hingga pandangannya tertujua pada sebuah email yang mengusik rasa penasarannya.

"Remund," gumam Lintang lirih.

Assalamualaikum.

Fur meinen schatz, Lintang. _(untuk yang tersayang, Lintang)_

Kita memang tak pernah tahu, apa yang menjadi rencana-Nya. Sebaik-baik manusia memiliki keinginan, Tuhanlah yang lebih kuasa menentukan. Kemarin kita baru saja bicara soal masa depan , tapi Tuhan juga lebih digdaya mengaburkan asa menjadi nestapa.

Aku pernah mengatakan padamu, bahwa dulu aku selalu membuat murka kedua orang tuaku. Papa meninggal karena stroke, tertekan dengan ulah badungku yang diam-diam meninggalkan bangku kuliah karena lebih memilih belajar menjadi seorang cheef. Sementara minuman keras dan perempuan seolah menjadi karib yang tak terpisahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline