Lihat ke Halaman Asli

Mudjilestari

Author motivator and mompreneur

Gadis Lembah Cilengkrang

Diperbarui: 30 Agustus 2022   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangan angkuh Gunung Ciremai yang memiliki ketinggian 3.078 mdpl, tampak gagah dimalam hari. Gunung api tertinggi di Jawa Barat dengan topografi yang berombak, berbukit, hingga bergunung masih menyisakan keindahan yang baru saja kurengkuh dalam pendakian siang tadi. Berbagai macam tumbuhan anggrek dan tanaman hias yang menarik seperti Kantong semar dan Dadap Jingga, selain bunga abadi edelweis menambah keelokan gunung yang menjadi Puncak Jawa Barat tersebut.Melalui jalur Palutungan Kuningan, bisa ditemui aneka satwa langka,  macan tutul jawa, surili,  elang jawa, elang hitam, bahkan sempat juga bertemu lutung-- kera ekor panjang. Konon di gunung Ciremai juga ada 2 jenis burung yang terancam punah seperti cica matahari dan poksai kuda, ada lagi dua jenis burung dengan status rentan yaitu ciung mungkal jawa dan celepuk jawa. Sayangnya aku tak sempat menemukan satwa langka tersebut, Aku ingin memanfaatkan sisa waktu untuk menikmati air panas alami di lembah Cilengkrang sambil menikmati keindahan hamparan pinus yang menjulang tinggi.Rupanya keasikan membuatku lupa waktu, hari mulai gelap. Aku bergegas menuju tempat penitipan motor. Malam berselimut kabut pertanda hujan segera menyapa, gegas aku melajukan motor membelah larik-larik jalan menembus jalan yang berbatasan dengan lembah dan tebing. Namun, tiba-tiba motor terhenti, sedikit heran aku turun dan memeriksa. Jarum penunjuk bensin masih berada di atas,  busi masih memantikkan percikan api, aku mengerutkan alis tak mengerti, kunyalakan sebatang rokok pengusir kecamuk.

Habis sebatang rokok, kucoba kembali menyalakan motor, aneh ... kali ini menyala tanpa hambatan.  Ketika hendak melaju, seseorang menyapaku. Wajahnya orientalnya yang khas  dengan sepasang mata kecil tersenyum padaku. Aku menatap tak berkedip, otakku bekerja dengan cepat, mengingatkan agar hati-hati terhadap siapa saja yang tidak dikenal. Namun, di sisi lain, mata tak ingin lepas dari gadis berkulit kuning pucat yang ada di hadapanku saat ini.

Perasaanpun mulai riuh bergemuruh, di tengah malam kala gelap kian pekat, bertemu seorang gadis bak bidadari adalah suatu anugerah, sengaja mengabaikan rambu peringatan adanya bahaya, entah dari manusia berhati srigala yang siap memangsa, ataupun dari makhluk tak kasat mata yang sesekali ingin menunjukkan jati dirinya.

"Sendirian?" tanyaku berharap. Gadis berwajah pucat itu, hanya mengangguk.

"Di mana tinggalmu?" Aku bertanya lagi, berharap bisa memanfaatkan kesemparan untuk lebih dekat lagi. Siapa yang sanggup untuk tidak jatuh cinta pada wajah yang terpahat begitu sempurna.

"Mau kuantar pulang?" Aku menawarkan, ternyata gadis itu mengangguk, membuat hatiku bersorak girang.

"Kamu tinggal di mana?"  Gadis itu mengarahkan ujung dagunya ke lembah Cilengkrang.  Aku mengerutkan alis, merasa aneh ... tapi segera kutepis pikiran buruk. Mungkin gadis ini memang tinggal di daerah sekitar, bukankah banyak rumah semi permanen di sekitar taman nasional tersebut. Kebanyakan mereka adalah kaum urban yang menggantungkan hidup dari para wisatawan pengunjung wisata air panas.

Malam kian beranjak, aku bersiap menjalankan motor matik butut yang setia menemani perjalananku selama ini. Dengan sigap menyilakan gadis itu naik ke boncengan motor. Nampaknya perasaanku tak bertepuk sebelah tangan, gadis berkulit kuning pucat itu meski lebih banyak diam, tapi sorot matanya yang teduh cukup mewakili perasaan yang ingin disampaikan padaku.

Inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Jika memang benar, aku akan sabar menunggu sampai kamu siap untuk mengampaikan  perasaanmu. Batinku mulai sibuk bersenandika.

Sebuah tepukan halus mendarat di pundak, aku menghentikan laju motor, di tepi hutan pinus.  Gadis berambut hitam sepinggang itu meloncat turun, dengan senyum yang masih melengkung sempurna ia mengangguk.

"Hai, siapa namamu?" tanyaku penasaran setengah berteriak.
 
Gadis itu menunduk, sambil jongkok menuliskan sesuatu di tanah dengan ujung jarinya, aku mengikuti telunjuknya yang mengukir rangkaian huruf. ''Devina." Perlahan aku mengeja, lalu memandang wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline