Lihat ke Halaman Asli

Robohnya Politik Kyai

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Dr. Mudhofir Abdullah

Para Capres dan elit partai politik mengunjungi pondok pesantren. Mereka menemui sejumlah kyai dan para santri untuk memperoleh dukungan serta simpati. Seperti diberitakan media massa dan elektronik, para Capres terutama Jokowi, sangat aktif menemui para kyai dan santri. Kunjungan ini, tentu saja, bukan silaturahmi murni. Ia disebut silaturahmi politik dengan tujuan-tujuan dan rayuan-rayuan tertentu. Apakah kunjungan ini efektif?

Nanti dulu. Para Kyai dan santri adalah para elit agama yang dianggap memiliki otoritas dan kharisma untuk memengaruhi pengikutnya mendukung Capres tertentu. Menurut saya, anggapan ini sudah kedaluarsa. Anggapan ini hanya cocok di masa-masa lalu ketika agen-agen perubahan bertumpu pada para Kyai untuk masyarakat NU. Sekarang agen-agen perubahan begitu banyak dan terbuka. Ada informasi-informasi di luar pondok pesantren yang lebih mencuri perhatian warga NU. Tambahan lagi, sekarang warga NU tidak lagi ideologis. Mereka telah menjadi masyarakat “terdidik” yang hanya percaya pada para kyai bila menyangkut masalah-masalah kegamaan. Di luar itu nanti dulu.

Selanjutnya, watak para Kyai adalah sangat terbuka dan menerima siapa saja yang bersilaturahmi. Bahkan jika Anda seorang koruptor pun akan tetap diterima sebagai tamu. Sikap terbuka para Kyai adalah bagian dari ajaran Islam yang mereka yakini. Itulah sebabnya, tayangan media massa soal kunjungan Capres tertentu ke mereka belum tentu sukses meraih dukungan konkret di bilik suara. Lagi pula, para Kyai tidak bisa memaksa para santri mencoblos Capres tertentu. Para santri adalah manusia yang bebas menentukan pilihannya. Mereka juga telah naik kelas dalam soal-soal politik dan wacana-wacana kebangsaan.

Apakah mereka akan memilih Prabowo atau Jokowi, tentu akan ditentukan intensitas komunikasi. Namun dalam sejarahnya, warga NU tak pernah bulat dalam soal-soal politik. Selalu saja ada varian yang saling berberangan. Dengan jumlah pengikut lebih dari 80 juta orang, warga NU akan terbelah dalam pilihan-pilihan politik. Survei terhadap pilihan para pemilih pada Pileg 9 April 2014 kemarin menunjukkan bahwa mereka tersebar pada semua partai. Warga NU tidak tunggal dalam masalah politik sehingga sulit dideteksi sebagai suatu kemutlakan dukungan pada Capres tertentu.

Pemilu tahun 2004 dan 2009 lalu menunjukkan Capres yang berpasangan dengan elit NU kalah dalam Pilpres. Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi tahun 2004 dan pasangan Wiranto-Shalahudin Wahid pada 2009 kalah dengan SBY dari partai Demokrat. SBY justru banyak mendapat dukungan dari warga NU.

Apa artinya? Politik Kyai telah runtuh. Kyai dianggap tidak tepat jika menjadi penggerak massa untuk tujuan-tujuan politik praktis. Massa NU juga tidak bergantung pada pilihan para Kyai dalam memilih Capres. Ada banyak agen yang telah mengambil peran para Kyai dan karena itu warga NU tak lagi mengikuti para Kyai dalam pilihan politiknya. Hail pembangunan telah mengubah semuanya. Rakyat Indonesia—di mana warga NU menjadi bagiannya—telah menjadi warga yang cerdas, meski terkadang cenderung pragmatis.

Namun, kunjungan ke pesantren sangat dianjurkan. Kunjungan tersebut sekurang-kurangnya membetot simpati sejumlah warga NU untuk memilihnya. Yang penting bagi warga NU adalah jangan kembangkan isu-isu SARA. Warga NU adalah warga yang sekali memperoleh isu SARA sangat sensitif. Karena itu, sejauh para Capres menjauhkan isu-isu SARA maka akan mendapat dukungan—meski tidak semuanya.

Kesimpulan saya, NU terbelah. NU kultural kemungkinan akan cenderung ke Prabowo, dan NU struktural akan cenderung ke Jokowi. Jadi, dalam NU sendiri tengah terjadi pertarungan dukungan yang menunjukkan bahwa NU adalah warga yang dinamis dan bukan warga yang suka membebek pada para elitnya.

IAIN Surakarta, 6 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline