Oleh Mudhofir Abdullah
Saya sebenarnya tidak tahan UGB ditahan. Air mata buayanya telah menjinakkan kegeraman saya. Memang saya bukan korban. Tapi, saya adalah orang yang sangat khawatir bila agama dijadikan topeng untuk memburu rente dan kekuasaan. UGB, menurut saya, termasuk ke dalam kategori ini. Bila tuduhan para korban benar, betapa “kejamnya” UGB. Ia raja tega memeras orang-orang yang sedang kesusahan atas nama Tuhan. Ia menempatkan dirinya di tempat Tuhan. Ia akan menyembuhkan pasien karena dekat dengan-Nya melalui doa dan ritual tak jelas.
Khaled Abou El Waled, seorang ahli hukum Islam kelahiran Qatar dan lama bermukim di Amerika pernah menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang paling banyak disalahgunakan oleh pemeluknya. Baik sebagai legitimasi kekerasan maupun pemerasan. Saya tak habis pikir mengapa seorang ‘Ustadz’ bertindak bodoh semacam ini? Tidakkah dia baca kearifan-kearifan Islam dan kemanusiaan sepanjang sejarah? Tidakkah dia mengambil kesantunan para ulama dan para sufi?
Menjadi Ustadz perlu terus belajar di tengah arus informasi yang begitu luas. Ia harus arif membaca segala hal sehingga nasihat-nasihatnya kontekstual dan sejalan dengan kearifan masyarakat banyak. Jangan pernah merasa cukup dengan satu Kitab. Membaca Kitab memerlukan keluasan wawasan sehingga cara memahaminya lebih komprehensif. Dalam hal ini, saya sedikit ragu kalau UGB suka membaca seperti kelaziman seorang ustadz.
Saya tak ingin ada “Ustadz” dituduh cabul, mencuri, menipu, dan memasang tarif tinggi pada umat. Para Ustadz adalah pewaris Nabi. Artinya ada tugas profetik yang harus diperankan oleh mereka. Jadi, peran mereka bukan semata-mata mencari keuntungan duniawi. Mereka mesti bertindak atas dasar kearifan dan pemahaman menyeluruh atas konteks-konteks sosialnya. Jika peran moral dan profetik tidak bisa dijalankan maka sebaiknya mundur menjadi ustadz dan beralih sebagai pebisnis. Seorang Ustadz, karena itu, harus punya pekerjaan tetap atau usaha lain yang dapat menyangga kebutuhan hidup keluarganya. Jika seorang ustadz tak punya pekerjaan lain, maka akan cenderung tergelincir pada perilaku rente dan negatif.
Selama dua tahun saya telah menjadi “ustadz” di Jakarta. Sambil kuliah S3 di UIN Jakarta, saya sering mengisi ceramah-ceramah, khutbah, dan sejenisnya. Honornya lumayan banyak dan cukup untuk membeli banyak buku dan kebutuhan lainnya. Kesimpulan saya, di Jakarta banyak orang “stress” dan mengalami disorientasi lalu lari ke agama. Mereka sangat berharap para Ustadz menyegarkan kembali makna hidup dan makna kemanusiaan. Nilai-nilai agama masih sangat dipercaya menyembuhkan kejenuhan hidup yang dipenuhi masalah. Nah, masalahnya adalah jika posisi ini disalahkangunakan oleh oknum Ustadz.
Orang awam di bidang agama, akan mudah dipengaruhi. Apalagi al-Qur’an dan segugus argumen teologi dibawa-bawa. Orang awam akan hanya pasrah mengikuti fatwa sang Ustadz. Dari sinilah celah “penipuan” bisa dimulai. Ustadz busuk akan dengan mudah memanfaatkan ini sebagai cara mencapai tujuan-tujuannya. Para calon korban pun terperangkap. Mereka tak sanggup menolak karena mereka “dihipnotis” seolah-olah sedang berhadapan dengan “Juru Bicara Tuhan”. Para “Ustadz” ini biasanya memakai sorban, kopiah, tasbih dan segala asesoris yang membuatnya berkharisma dan mirip seorang “wali”. Kalau sudah begini, maka para korban sulit lari darinya.
Kembali ke UGB. Dia, tentu saja, tidak bisa disalahkan sendirian. Dalam ekonomi ada hukum besi tentag supply and demand. UGB bertahan dan melakukannya semacam itu karena adanya permintaan. Jika tak ada permintaan—yakni orang-orang yang berobat ke UGB—maka dengan sendirinya UGB gulung tikar. Para korban juga punya peran membesarkan UGB—terutama yang selama ini bersikap diam dan tidak melaporkannya ke pihak berwajib.
Kasus UGB, menurut saya, mirip dengan Eyang Subur dalam bentuk lain. Saya kira, kasus-kasus ini akan terus terulang jika masyarakat tak pernah belajar. Akan lahir “ustadz-ustadz” sejenis di masa depan. Apalagi masyarakat kita mudah memberi pengakuan pada seseorang dengan sebutan “Ustadz” meski hanya bisa membaca al-Qur’an. Padahal “ustadz” itu di Arab selevel Guru Besar atau profesor dengan wawasan ilmu yang baik dengan seluruh kearifannya.
Tugas kita adalah jangan pernah memercayai pengobatan tak masuk akal. Tuhan telah membuat hukum-hukum-Nya di dunia ini melalui ilmu medis dan semacamnya. Bukankah akal pada dasarnya “wahyu kreatif” untuk dijadikan pegangan dalam memilih suatu tindakan atau keputusan? Agar tidak lagi ada “ustadz-ustadz” gadungan maka potonglah hukum permintaan sehingga pasar penipuan oleh oknum Ustadz tak terulang.
IAIN Surakarta, 9 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H