Peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia di peringati setiap 5 Juni.dengan tema "Restorasi ecosystem" telah berlalu Bagi anak anak muda yang aktif di Remaja Mesjid Nurul Hikmah di Jorong Sipisang, Kanagarian Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Sumatera Barat, peringatan hari lingkungan itu, tidak lah masuk dalam memori inf di medsos mereka. Bagi mereka, perhatian pada lingkungan di hadapan mereka itu lebih penting.
"Goro" atau "Gotong Royong" untuk membersihkan Kali Sipisang yang melintas Jorong mereka, terutama meliwati Mesjid Cagar Budaya berusia dua abad, Nurul Hikmah, berlangsung 13 Juni dan 20 Juni 2021 dan 27 Juni 2021 dan akan berlanjut pekan depan. Lebih 50 puluh orang anak muda di Jorong ini, didukung oleh tokoh masyarakat dan Wali Jorong Sipisang, turun ke kali membersihkan sampah yang hanyut, menata batu batu penggenang air dan akan membuat "Lubuak Larangan". Di Lubuk Larangan ini akan ditebar bibit ikan, tidak boleh di pancing, apalagi di "tanggok". Warga masyarakat yang melanggar ini akan diberikan sanksi oleh Jorong Sipisang. Pelanggar akan dikenakan denda 10 sak semen, tiap pelanggaran yang dilakukan.
Alizar Tuanku Marajo, selaku Imam dan Pengurus DKM Mesjid Nurul Hikmah, memberikan ulasan saat gotong royong berlangsung. "Anak muda Remaja Mesjid, begitu bersemangat, setelah sukses melaksanakan Khatam Qur'an dan berbagai perlombaan, usai Idul Fitri 1442 H yang lalu". Respon dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat sekitar dan para perantau atas acara itu menggembirakan. Anak anak yang ikut serta semakin termotivasi untuk mengikuti pendidikan di Madrasah, ngaji di Mesjid dan Mushalla serta kegiatan keagamaan lain.
Sehingga Ali Murtala selaku Ketua Remaja Mesjid, Yolanda Ikram, Wali Jorong Sipisang dan para tokoh masyarakat, sepakat untuk memulai kegiatan lain yang memberikan manfaat pada mesjid sendiri, anak anak dan masyarakat sekitar. Terdapat kelebihan dana donasi masyarakat dari kegiatan yang telah berlangsung sebelumnya. Hasil musyawarah Remaja Mesjid dengan DKM Mesjid Nurul Hikmah dan tokoh setempat, mengarah pada kegiatan untuk mencoba kembali "Lubuk Larangan", di sepanjang kali yang meliwati jorong Sipisang. Panjang kali ini hampir 3 km, penuh sampah dan tidak termanfaatkan.
Sisa dana yang ada dibelikan tiga "bronjong kawat", untuk menahan air, agar tergenang seperti "lubuk/tambak". Membersihkan sampah, membuat tanggul "lubuk" Dengan bronjong batu, itu lah fokus GORO remaja masjid sejak tiga pekan lalu. Dalam GORO ketiga, (27 Juni, 2021), telah diselesaikan pembuatan pembatas "lubuk dengan bronjong" dan direncanakan akan dibuat dua atau tiga pembatas lain. Secara keseluruhan paling kurang ada "lima buah lubuk" akan diselesaikan. Dukungan dari masyarakat lain, diperoleh dalam bentuk dana tunai, bronjong, minuman dan penganan dan makan siang.
Insyaa Allah tahun depan, ikan akan dipanen, untuk kegiatan para Remaja Mesjid dan untuk biaya operasional Mesjid Nurul Hikmah serta kegiatan produktif lain. Pengawasan terhadap pelanggaran dan pemberian sanksi, dilakukan oleh semua warga Jorong, dan akan melaporkan kepada Tim Sanksi yang dibentuk bersama DKM Mesjid Nurul Hikmah, Remaja Mesjid dan Jorong Sipisang. Di lokasi strategis sepanjang kali akan dipasang, "Larangan dan Sanksi", bagi pelanggar.
Secara implisit para pemuda ini telah menerapkan makna filosofi Minang yakni "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Alam Takambang Jadi Guru", dimana sudah sejak dahulu orang Minang diingatkan untuk belajar, memelihara alam, tidak merusak sesuai dengan "Adat dan Syara"
Sesungguhnya ini adalah bentuk perwujudan kearifan lokal adat Minangkabau, salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat dan secara turun-menurun. Kearifan lokal ini syarat dengan makna ajaran Agama dan Nilai Adat untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan.
Simaklah, "Yang lereng tanami tebu. Yang tunggang tanami bambu. Yang gurun jadikan kebun Yang basah jadikan sawah. Hal ini merupakan petunjuk bahwa masyarakat secara tradisional telah memelihara dan memanfaatkan alam sesuai dengan kondisi ekologi setempat. Dengan berjalannya waktu, pemanfaatannya jadi berubah dinamis ; Yang lereng tanami gambir. Yang tunggang tanami bambu. Yang gurun jadikan kebun. Yang basah jadikan sawah. Dengan demikian "restorasi ecosystem", dapat dikatakan tidak diperlukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H