Lihat ke Halaman Asli

Muchson Thohier

Orang biasa

Hidup Indah dengan Senyuman

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh jadi ada di antara kita yang memiliki kawan, saudara atau bahkan pasangan hidup  yang setiap bertemu selalu menyampaikan keluhan. Ada saja yang dikeluhkan, dari mulai urusan keluarga sampai urusan pekerjaan. Dari hal yang memang amat sepele, masalah sepele yang dibesar-besarkan sampai urusan yang memang benar-benar besar. Sikap semacam ini tentu membuat kita jengah, jengkel, bosan atau tidak nyaman.

Sebenarnya ada cara sederhana untuk menyikapi beragam permasalahan hidup ini agar terasa lebih ringan. Bila mengeluh tak banyak membantu dalam menemukan solusi dan bahkan membuat orang lain merasa tidak nyaman, lebih baik kita pilih cara sederhana ini. Apa cara sederhana itu? jawabnya adalah tersenyum. Ya, tersenyum, sebuah aktifitas yang sangat mudah dan murah itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

Bagaimana senyum bisa disebut sebagai aktifitas yang mudah dan murah? Mudah karena dibutuhkan lebih sedikit otot wajah untuk membuat seseorang tersenyum dibanding cemberut. Beberapa ahli menyatakan dibutuhkan 43 otot untuk cemberut dan hanya 17 otot untuk tersenyum. Beberapa ahli lain menyebut dibutuhkan 62 otot untuk cemberut dan hanya 26 otot untuk tersenyum. Murah karena  gratis. Untuk tersenyum seseorang tak mengeluarkan uang sepeser pun.

Senyum bisa mendatangkan kebahagian bagi para pelaku dan mereka yang menerimanya. Dr. Aidh al-Qarni dalam buku "La Tahzan"  menyebutkan, "Senyuman adalah sesuatu yang indah, menarik hati, menyenangkan dan menggembirakan. Seseorang yang melihat orang lain sedang tersenyum akan merasa damai dan hati diliputi kesejukan." Sebuah ungkapan para bijak juga menyebut "setiap menit kita marah atau sedih, berarti kita telah kehilangan 60 detik kebahagiaan".

Mari kita bayangkan, saat kita pulang kerja, sehabis memeras otak dan energi seharian, kemudian saat memasuki rumah kita, istri dan anak-anak menyambut dengan senyuman tulus sembari mencium tangan kita. Boleh jadi rasa capek dan penat itu luruh satu-satu dan semangat kita kembali muncul. Senyum tulus dari istri dan anak seolah menjadi charger yang memompa kembali energi yang tinggal sisa-sisa itu kembali menyala.

Senyum yang tulus menghadirkan kesan positif tentang seseorang. Saat kita bertemu seseorang untuk pertama kali dan dia menyambut kita dengan sebuah senyuman, tentu kita akan merasa nyaman dengannya dan kesan positif tentang orang tersebut akan terpatri dalam benak kita. Berbeda ceritanya saat kita bertemu dengan seseorang yang bersikap dingin dan terkesan acuh. Dengan sikap dingin dan acuhnya itu benak kita seolah dituntun untuk membuat kesimpulan yang kurang baik tentang dia.

Kedahsyatan sebuah senyuman bisa pula kita buktikan saat kesulitan hidup menghampiri kita. Saat dada ini terasa sesak oleh beban-beban itu,  cobalah diam sejenak, tariklah nafas kemudian hiasi bibir ini dengan sesungging senyuman. Mungkin beban yang menghimpit itu sedikit berkurang dan otak kita dirangsang untuk berpikir lebih jernih sehingga bisa menyikapi kesulitan itu dengan lebih proporsioanal. Dan percayalah wajah yang semula kusut, berkerut dan “tua” itu perlahan akan menemukan keceriaan, cerah dan “muda” kembali.

Senyum juga mampu menghilangkan rasa sakit yang dialami oleh tubuh kita. Ini dikarenakan, saat kita tersenyum akan memicu meningkatnya hormon endorfin. Hormon endorfin merupakan hormon yang dapat menghilangkan rasa sakit alami yang dialami oleh tubuh.

Tak kalah pentingnya aktifitas senyum memberi kemudahan bagi seseorang dalam menjalani berbagai kegiatannya. Kalau bisa memilih tentu kita lebih suka bertransaksi dengan orang yang memiliki sikap bersahabat, menghargai, sopan dan bukan dengan mereka yang cuek, acuh dan tak peduli. Sebuah senyuman menggambarkan sikap pertama dari dua gambaran di atas. Sehingga ada sebuah pepatah menarik di kalangan pebisnis: “janganlah membuka toko, bila tak mampu tersenyum”.

Senyum itu Sedekah

Di samping senyum amat bermanfaat ditinjau dari sisi medis, psikologis dan sosial, sebenarnya senyum merupakan aktifitas yang bernilai ibadah. Boleh dibilang senyum salah satu diantara ibadah yang paling sederhana namun mendatangkan keajaiban yang luar biasa. Rasulullah SAW  mengajarkan dalam sebuah hadist:  “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)." Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menegaskan, "Jangan meremehkan sedikit pun dari amal kebaikan, meski hanya sekadar bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri (tersenyum)" (HR. Muslim).

Senyum adalah sedekah. Maka tak perlu menunda untuk membaginya kepada siapa pun. Berbagi senyum sama artinya berbagi keceriaan, sikap optimis, sikap menghargai dan beragam hal positif yang lain. Senyum adalah balasan yang tepat dari setiap gundah, cemas, khawatir, rasa takut, yang melanda hati kita. Senyum juga menjadi jawaban yang elegan dan bermartabat saat ada seseorang yang bersikap kurang mengenakkan kepada kita. Siapa tahu dengan sikap kita itu dia akan tertular untuk meniru sikap kita, karena senyum pun bisa menular. Atau minimal kalaulah dia belum ikut dengan kebiasaan kita, dia tidak mengulangi sikapnya itu pada kita dan juga kepada orang lain.

Dalam konteks keluarga, alangkah indahnya bila suami, istri dan anak-anak selalu berhias senyum di wajahnya. Alangkah indahnya bila proses interaksi yang terjadi diliputi suasana penuh keceriaan. Kisah tentang ketidak-nyamanan  seorang istri karena wajah kusut sang suami, kisah seorang anak yang mesti ketakutan  karena wajah beringas orang tuanya, atau kisah seorang ibu yang nyaris putus asa karena ekspresi menantang dari anak-anaknya akan berganti dengan kisah-kisah baru yang jauh lebih indah karena kedahsyatan sebuah senyuman. Semua anggota keluarga menularkan aura positif kepada yang lain. Dan suasana semacam ini tentu amat membantu kondusifitas keluarga dalam menjalani agenda-agendanya.

Bila kita secara kontinyu mampu melakukan hal yang demikian, maka keluarga kita telah menyerupai apa yang disabdakan Nabi: baity jannaty (rumahku adalah surgaku). Dalam surga tak ada wajah yang kusut, sedih, acuh, dingin, beringas dan beragam ekspresi negatif yang lain. Yang ada hanya wajah-wajah penuh keceriaan, kegembiraan, suka cita dan penuh senyuman.

Maka marilah kita berbagi senyuman, mulai dari sekarang!!!!

REMBANG, 23  Maret  2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline