Lihat ke Halaman Asli

Muchson Thohier

Orang biasa

Empat Pilar Keluarga Idaman

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Jamrong, sebutlah begitu, remaja tanggung  lulusan SMP dengan profesi kerja serabutan.  Bukan masalah pekerjaan  Jamrong yang menarik perhatian penulis – karena kerja serabutan apalagi hanya berbekal ijasah SMP tampak amat lumrah di negeri ini,  namun perihal kebiasaan “sadis” yang biasa dilakukan remaja itu: menenggak “oplosan”. Dengan modal saweran, Jamrong dan beberapa rekan biasanya melewatkan malam minggu dengan menenggak “minuman maut” itu tanpa rasa khawatir, nyawanya bisa saja menjadi alat tukar.  Bukti telah banyak, nyawa meregang dengan cara mengenaskan demi minuman beralkohol yang konon murah meriah itu.

Yang ini bernama Susi, remaja kelas 2 salah satu SMK. Gadis ini mesti mengakhiri pendidikan formalnya karena kebablasan saat memadu kasih dengan sang pacar. Di perutnya telah berisi janin kurang lebih berusia 3 bulan. Saat penulis bertemu dengan gadis itu, dengan tanpa rasa menyesal dia sebut kebiasaan pacaran kawan-kawannya yang membuat penulis miris. Menurut Susi kawan-kawannya juga banyak yang melakukan seperti yang dia lakukan. Hanya mereka belum apes saja pak,  jawabnya ringan.

Oplosan dan perilaku seksual pranikah di atas hanya beberapa problem yang saat ini menjadi problem besar masyarakat dan bangsa kita. Problem lain misalnya maraknya perilaku korupsi, perselingkuhan, pembunuhan sadis, KDRT dan penyakit sosial yang lain. Tentu saja kejadian semacam ini menjadi semacam cermin, koyaknya moralitas masyarakat dan bangsa yang bila tak segera mendapat penanganan yang tepat pastinya makin membahayakan.

Persoalannya beragam aturan telah diterbitkan, berbagai regulasi telah pula diratifikasi. Tapi upaya-upaya tersebut belum mampu menyentuh substansi permasalahan, sehingga alih-alih “menyembuhkan” penyakit sosial dimaksud, bahkan seperti memicu kemunculan penyakit tersebut dalam bentuk yang lebih “wah” dan ‘dahsyat”.

Keluarga sebagai Benteng Terakhir

Sejatinya saat masyarakat  mengalami krisis dan jebol daya tahannya, masih ada harapan keluarga menjadi benteng terakhir. Di dalam keluargalah nilai-nilai luhur dan moralitas masih bisa disemai, dirawat dan dipertahankan. Permasalahannya institusi keluarga sendiri saat ini sedang dihantam badai dan prahara yang amat besar. Berbagai nilai dan budaya baru menggelontor masuk dalam ranah domestik sebuah keluarga melalui berbagai perangkat termasuk perangkat IT yang disalah-gunakan. Dulu orang tua bisa agak tenang saat menyaksikan anak-anaknya diam di rumah, karena berbagai “pelanggaran” moral itu dikonotasikan berada “di luar sana”. Tapi sekarang, anak diam di kamar belum tentu tak mengakses hal-hal yang negatif karena kemudahan yang ditawarkan tehnologi.

Walau demikian, sejebol-jebolnya daya tahan sebuah keluarga, tetap saja upaya perbaikan masyarakat lebih mungkin bila diawali dengan memperbaiki institusi keluarga ini, jika dibanding dengan menempuh jalan pintas seperti “merekayasa” kurikulum di sekolah, atau yang lain. Penulis tidak apriori terhadap perbaikan sistem pendidikan, sisitem sosial dan semacamnya karena hal semacam ini juga penting, tetapi yang mesti disadari keluargalah sebenarnya alamat pertama dan terakhir dari keberadaan individu-individu dalam masyarakat. Siapapun kita, tetaplah kita menjadi bagian sebuah keluarga. Entah sebagai ayah, anak, suami, ibu, istri atau apapun peran dan kedudukannya.

Bobroknya sebuah komunitas, tidak bisa lepas dari bobroknya kualitas dari keluarga-keluarga yang ada. Begitu pun “baik”, “benar”, “sehat”-nya sebuah komunitas akan banyak tergantung dari “baik”, “benar” dan “sehat”-nya keluarga-keluarga yang ada di situ. Paling tidak ada interaksi yang saling mempengaruhi antara individu, keluarga dan masyarakat dalam sebuah komunitas tertentu. Bila seorang suami sedang menjalani praktek selingkuh, boleh jadi masyarakat di daerah tempat tinggalnya memang “bermasalah” sehingga memicu dia untuk berlaku menyimpang, tapi boleh jadi tatanan sosial di daerah tersebut baik-baik saja. Namun yang bisa dipastikan keluarga di mana si suami ini tinggal memang sedang bermasalah, paling tidak masalah itu ada pada diri si suami ini. Seorang suami yang harusnya berlaku setia, tega mengkhianati orang-orang yang harus dibahagiakan.

Saat Jamrong tanpa takut menenggak oplosan, boleh jadi karena dia merasa tak sendiri. Banyak kawan-kawannya yang melakukan hal yang sama. Mungkin tatanan sosial di mana Jamrong dan kawan-kawan tinggal mengalami disorder.  Oplosan mudah di dapat, masyarakat abai untuk melakukan pengawasan, sangsi sosial tak lagi punya daya ikat, penegakan hukum lemah dan semacamnya. Tapi tetap saja Jamrong dan juga kawan-kawannya adalah bagian dari sebuah keluarga. Andai kata kondisi keluarga Jamrong “terkendali” moralitasnya, khususnya moralitas orang-orang dewasa di keluarga tersebut, bapak dan ibunya benar-benar bisa menjadi bapak dan ibu terbaik, yang bisa menuntun dia menjadi anak yang kenal pada Tuhan, peka pada lingkungan, mampu memberi kenyamanan secara psikologis  sekaligus mampu menjadi tauladan, besar kemungkinan Jamrong tidak akan terseret  dalam perilaku “menyimpang” itu.

Andaikata Susi hidup di tengah keluarga yang damai, orang tuanya memberi kasih sayang secara tepat, mendidik dengan baik, mendampingi dan mengawasi dengan benar, memberi tauladan dalam hal kebaikan, boleh jadi remaja 16-17 tahun itu akan lebih fokus mengejar impiannya di bangku sekolah, merawat cita-cita sembari menjalani masa muda sewajarnya. Mungkin hal itu tak di dapatkannya di rumah, sehingga dia seperti anak yang menatap masa depan tanpa banyak harapan. Cita-citanya layu oleh ketidak-berdayaan yang boleh jadi disemai oleh orang tuanya sendiri.

Empat Pilar Utama

Empat hal berikut merupakan pilar-pilar utama bagi tegaknya sebuah keluarga yang sehat dan layak menjadi idaman. Keluarga semacam ini berpeluang menjadi jalan keluar dari silang sengkarut problem moral dan sosial yang membelit negara tercinta ini.

Pertama, adanya pemahaman yang tepat  atas ajaran-ajaran agama. Pemahaman yang tepat terhadap doktrin agama akan menjadi pilar yang sangat kokoh bagi sebuah keluarga saat dihadapkan dengan berbagai problematikanya. Karena sejatinya agama telah menyediakan alasan-alasan yang benar kenapa sebuah bangunan keluarga mesti didirikan. Agama juga menetapkan alamat yang jelas ke mana sebuah keluarga mesti menuju, sekaligus menyediakan petunjuk arah, rute-rute yang mesti dilalui agar tidak tersesat dari tujuan awal.

Dengan mengikuti pedoman yang dituntunkan agama, besar kemungkinan sebuah keluarga bisa melewati ujian, kesulitan dan berbagai kendala yang harus diakui pasti datang silih berganti. Agama menyediakan formula yang tepat bagaimana saat menghadapi hal-hal yang menyedihkan, susah, tidak mengenakkan dengan adanya perintah utuk bersabar. Saat menghadapi hal-hal yang menggembirakan, menyenangkan dan hal-hal yang bernuansa anugrah agama memerintahkan untuk bersyukur. Sabar dan syukur adalah dua formula yang bisa menjadi jalan keluar dari apapaun yang dihadapi sebuh keluarga, karena sebenarnya setiap kejadian di dunia ini tak jauh-jauh dari dua kondisi di atas.

Kedua, adanya kematangan finansial. Sebuah keluarga pastilah membutuhkan banyak uang untuk membiayai berbagai kebutuhan. Dengan ditopang oleh finasial yang baik, tentu akan lebih mudah bagi sebuah keluarga menjalani agenda dan beragam program-programnya. Amat logis bila sebuah keluarga akan terganggu ketenangannya saat terjadi kesenjangan antara pemasukan dan pengeluaran. Saat kondisi finansial kembang kempis tegaknya bangunan rumah tangga akan terganggu.

Ketiga, adanya kesungguhan untuk merawat komitmen yang menjadi kesepakatan antar segenap penghuni keluarga. Pasti dalam sebuah keluarga ada nilai-nilai, aturan-aturan yang telah menjadi kesepakatan, entah itu saat akan dimulainya pernikahan atau di tengah-di tengah menjalani kehidupan berkeluarga. Bagaimana kewajian suami, kewajiban istri, kewajiban anak, hak-hak mereka dan berbagai komitmen lain seperti saling mencintai, saling setia, saling membahagiakan, saling memahami kekurangan dan semacamnya. Saat komitmen-komitmen itu terjaga dengan baik, besar kemungkinan harmonitas dalam keluarga pun akan terjaga. Namun saat komitmen itu tercederai pastinya ada yang merasa dikecewakan atau bahkan dikhianati.

Keempat, adanya kematangan mental atau kedewasaan. Saat keluarga dihuni oleh seorang suami yang matang dan seorang istri yang setara kualitas kematangan metalnya – atau terpaut namun tak terlalu jauh, tentu keluarga tersebut tak banyak disibukkan oleh hal-hal sepele yang terkadang bagi pasangan suami istri yang pola pikirnya masih kanak-kanak bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga. Manusia dewasa tidak tergoda untuk bersikap egois, mampu mengendalikan emosi dan memiliki visi yang jauh dalam mengambil sebuah tindakan.

Dalam keluarga yang berdiri di atas pilar-pilar di atas, seorang anak akan mendapat perlakuan yang tepat sehingga berbagai potensi yang dimilikinya akan terdampingi secara baik. Dia akan tertuntun menjadi anak yang religius, yang terlatih untuk menghargai orang-orang yang semestinya dihargai. Tidak menjadi anak yang cengeng, mudah patah semangat dan terlatih menghargai sebuah proses. IsyaAllah dari keluarga seperti ini tidak muncul Jamrong, Susi, atau seorang suami yang peselingkuh.

Wallahu a’lam bi alshawab

REMBANG, 18 DESEMBER 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline