Memasuki kota Magelang, perhatian saya langsung tertuju pada pemandangan alam serta penataan kota yang rapi. Berada di kaki Gunung Tidar, Magelang dianugerahi bentang alam berupa lembah dan sederetan gunung yang menjulang tinggi. Dari kota yang terkenal dengan makanan gethuk-nya ini, keindahan gunung Sumbing, Merbabu, dan Merapi, dapat dilihat secara jelas.
Selain asri, kota Magelang dapat disebut sebagai kota yang masih kuat mempertahankan keaslian sejarahnya. Di usianya yang sudah tergolong tua, pembangunan kota ini tidak lantas mengesampingkan pemeliharaan situs sejarah dan bangunan cagar budaya yang ada. Hingga saat ini, bangunan-bangunan peninggalan sejarah, seperti sejumlah rumah bergaya Indies yang menyebar di sekitar alun-alun, masih nampak terpelihara.
Alun-alun kota menjadi salah satu tempat favorit bagi warga kota Magelang. Biasanya, warga kota menghabiskan waktu untuk bersantai di tempat ini. Mereka datang bersama keluarga atau orang-orang terdekat sekedar untuk melepas kepenatan. Tak hanya menjadi tempat pas untuk menyegarkan pikiran, di alun-alun kota para pengunjung juga bisa memilih beragam kuliner dengan harga yang relatif murah.
Setelah lelah mengitari jalanan kota Magelang, saya pun memutuskan untuk berhenti sejenak di alun-alun kota. Sembari meneguk air mineral sedikit demi sedikit, saya duduk bersantai di depan masjid agung kota yang siang itu tidak seramai hari-hari biasanya. Suasana sepi dan lenggangnya jalan raya siang itu, menjauhkan bayangan saya tentang sebuah kota yang bising dan macet.
Mungkin ketengan, hawa dingin pegunungan, dan kondisi udara segar inilah yang menyebabkan Magelang menjadi tempat bagi peristirahat orang-orang Eropa di zaman dahulu kala. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah-rumah indies yang disebut-sebut sebagai tempat tinggal orang Belanda dan orang Eropa. Mereka yang tinggal dirumah-rumah tersebut umumnya adalah para pegawai pemerintah kolonial, para petinggi militer, dan pegawai lainnya yang bekerja di perusahaan perkebunan.
Pemukiman orang Belanda dan Eropa lainnya di kota ini diantaranya menyebar di beberapa titik. Pertama, pemukiman Eropa dapat ditemui di lingkungan sekitar gedung bekas Karesidenan Kedu, yang saat ini menjadi komplek museum diponegoro. Di samping kiri, kanan, dan belakang gedung pemerintahan bergaya kolonial ini, tersebar pemukiman atau rumah-rumah yang dulunya mungkin ditempati orang-orang Eropa dan Belanda. Barangkali, titik inilah yang menjadi konsentrasi pemukiman orang Eropa dan Belanda di zaman dahulu.
Saya yang merasa penasaran dengan bangunan-bangunan rumah jadul, kemudian mencoba mengulik satu per satu bangunan yang ada. Saya berjalan dari alun-alun kota, melalui jalan menuju ke gedung bekas Karesidenan Kedu. Di perjalanan inilah saya menemukan bangunan-bangunan tua seperti gedung Kweekschool atau Sekolah Guru di zaman kolonial Belanda yang di masa sekarang menjadi kantor catatan sipil. Dari Kweekschool, Gedung Bekas Karesidenan Kedua ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang dari sepuluh menit.
Menyantap SOP Senerek yang Legendaris
Sambil tetap mengamati Gedung Karesidenan Kedu, saya lantas teringat dengan cerita seorang teman mengenai makanan khas Magelang yang dapat ditemui di kawasan ini. Sop Senerek, demikian makanan itu banyak di kenal orang.
Ya... satu diantara beberapa warung penjual sop senerek di Magelang adalah warung Bu Atmo. Warung Bu Atmo terletak tidak jauh dari gedung Karesidenan Kedu.
.
Warung Bu Atmo memang cukup legendaris. Tak heran jika setiap harinya warung ini selalu ramai dikunjungi pelanggan. Termasuk siang itu, saat saya memasuki warung ini, para pengunjung hampir silih berganti memenuhi setiap meja yang ada.
Ada dua jenis sop senerek yang dihidangkan di warung Bu Atmo, yaitu sop senerek ayam dan sop senerek babat. Sop senerek ayam berisi sop dan suwiran tebal daging ayam. Sebaliknya, sop senerek babat berisi daging babat yang diiris secara kasar.
Saya memilih menu sop senerek ayam untuk makan siang saya saat itu. Hemm... sebuah menu yang istimewa karena baru pertama kali saya merasakan menu makanan satu ini.
Menurut cerita, sop senerek sebenarnya berasal dari kata snerek dalam bahasa belanda yang berarti kacang. Kacang merah memang menjadi pemandangan unik dalam sop yang berisi nasi, daun bayam, irisan wortel, dan suwiran daging ayam.
Konon, sop senerek merupakan makanan yang biasa makan orang-orang Belanda dan Eropa. Terlepas dari benar atau tidaknya, sop senerek yang dihidangkan dalam kondisi panas, menjadi makanan yang cocok untuk disantap di daerah berhawa dingin seperti kota Magelang.
Akhirnya, gedung Karesidenan Kedu dan rumah-rumah indies yang saya amati, tak bisa lepas dari sop senerek yang legendaris itu. Keduanya bisa jadi merupakan rangkaian sejarah yang selalu jalin menjalin. Itulah pelajaran saya hari ini, saat saya mengagumi sebuah kota kecil berhawa dingin yang asri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H