Saat sekarang dapat dikatakan Pancasila (Indonesia) sedang di serang virus penyakit bernama Radikalisme dan Terorisme. Jika Pancasila kalah kuat dengan kedua virus tersebut maka dipastikan Pancasila akan jatuh sakit bahkan bisa mati.
Upaya memberikan kekebalan ( imunisasi) kepada Pancasila merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda lagi. Diakui atau tidak Pancasila sebagai dasar negara menjadi incaran kelompok kelompok radikal dan teror. Mereka beranggapan, Pancasila tidak tepat diberlakukan di Indonesia yang cocok berlaku di Indoensia adalah sistem negara Islam (Khilafah).
Hasil Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tahun 2010 hingga 2011, yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo Guru Besar Sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mengungkapkan hampir 50 % pelajar setuju dengan tindkan radikal.
Secara detail data menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Diperkuat dengan hasil survei The Pew Research Centre pada tahun 2015 lalu mengungkapkan bahwa sekitar 4 % atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS, dimana sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda.
Seperti layaknya virus pada umumnya, virus penyakit radikalisme dan terorisme di kembangbiakan melalui berbagai media seperti media forum keagamaan dan media sosial seperti seperti Facebook, Twitter, instagram, WhatsApp (WA) dan linkedin. Menurut Solahudin, Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia melalui hasil risetnya tahun 2017 mengatakan bahwa media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp (WA), Instagram mempercepat masuknya paham radikalisasi. Akan tetapi, rekrutmen anggota kelompok teror masih kerap dilakukan tanpa perantara media sosial dalam artian melalui forum forum pertemuan secara langsung antara pendoktrin dnegan calon kader teroris.
Ada tiga unsur yang terkait dengan virus radikalisme dan terorisme yang ujung ujungnya mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Tiga unsur itu adalah aktor intelektual atau Penyebab, yaitu bisa menjelma manusia secara personal atau organisasi yang mengsupport, mendorong dan memotivasi tumbuhnya faham radikalisme dan terorisme.
Dalam konteks ini adalah para penceramah, mubalig, nara sumber dan siapapun yang memiliki cara fikir radikal, tekstualis dan anti Pancasila serta NKRI. Elemen yang selalu mengusung isu pemberlakuan syariat Islam atau sistem negara khilafah. Mereka berkeyakinan bahwa hanya sistem syariat Islam yang mampu mensejahterakan rakyat. Padahal belum pernah ada sistem negara khilafah yang benar benar mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Unsur kedua adalah media atau sarana. Dalam hal ini media sosial seperti Facebook, Twitter, instagram,WhatsApp (WA) linkedin dan juga buku buku populer yang dijual di berbagai toko. Di Zaman sekarang yang dikenal dengan zaman digital, masyarakat sangat mudah terpengaruh dengan konten konten yang ada di twitter, facebook, instagram, WA dan linkedin maupun buku.
Posting informasi melalui sosial media sangat cepat merasuk ke dalam hati sanubari para pembaca yang dikenal dengan generasi melenial. Besarnya pengaruh sosial media, masyarakat sangat percaya semua informasi yang diterima dari sosial media pesan tanpa melakukan klarifikasi (tabayun). Setiap detik, menit dan jam, postingan konten konten faham radikalisme dan terorisme sangat mudah di terima oleh masyarakat Indonesia.
Unsur ketiga adalah pelaku (aktor). Dalam unsur ini menyangkut pelaku teror yang biasa di kenal dengan "pengantin". Banyak anak anak mudah baik lagi laki maupun perempuan telah menjaid korban faham radikal. Bukti nyata aksi teroris dengan cara bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga yang didalamnya ada anak anak yang masih remaja. Pelaku teroris ini dapat dikatakan korban dari unsur kedua dan pertama. Kuatnya pengaruh daru unsur pertama dalam memanfaatkan unsur kedua, maka mengakibatkan mudahnya mencari pelaku aksi radikal dan teror.
Anti Virus