Keberhasilan dalam studi di perguruan tinggi adalah sebuah keniscayaan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan efektif dan efisien. Efektif itu diukur dari seberapa besar mahasiswa melakukan proses pembelajaran di perguruan tinggi dan memiliki hard skill dan soft skill sebagai hasil pembelajaran, sedangkan efisien diukur dari tingkat lama mahasiswa dalam menyelesaikan studinya.
Dalam mencapai kedua prinsip tersebut bisa dicapai dengan pola manajemen yang baik dari mahasiwa maupun pihak pengelola perguruan tinggi dalam mengelola proses akademik di kampus. Selain itu prinsip continues change menjadi upaya startegis jika terdapat masalah dalam pelaksanaan pencapaian tujuan tersebut.
Masalah yang sering dihadapi dalam keberhasilan studi di perguruan tinggi malah justru dari mahasiswa yang sudah menginjak tingkat akhir, terutama mental mahasiwa yang kurang mandiri ketika dihadapkan pada fase penulisan skripsi.(lihat shulby dalam babel pos: 2012). Padahal skripsi hanya memiliki bobot 6 sks dan bisa diselesaikan kurang lebih satu tahu jika dari semester 5 mahasiswa sudah mempersiapkannya.Kenyataan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus.
Sebagai pengelola perguruan tinggi perlu mengambil kebijakan untuk membendung keterlembatan studi mahasiswa. Bukan tidak mungkin jika pihak perguruan tinggi akan mengalami penurunan passing gradeakibat membludagnya mahasiswa yang terkatung-katung dalam penyelesaian studinya. Berikut ini beberapa alternatif yang dapat direalisasikan untuk membantu penyelesaian studi mahasiswa.
Pertama, berikan motivasi kepada mahasiswa. Sebagai mahasiwa, tugas untuk menyelesaikan studinya kadang mengalami stagnasi akibat rendahnya motivasi dalam diri mahasiswa. Bagi dosen harus bisa berperan sebagai motivator. Peran motivator harus dilaksanakan secara merata di lingkungan kampus.
Hal ini bisa dilakukan oleh beberapa pejabat di beberapa fakultas dengan mengadakan dialog kepada beberapa dosen. misalnya memberikan perhatian setiap pertemuan tertentu atau saat perkuliahan berlangsung. Motivasi diberikan bukan dalam rangka membantu mahasiswa secara total dalam penulisan skripsi namun untuk menumbuhkan semangat, kerja keras dan kreativitas dalam penulisan skripsi. Biarkan mahasiwa melakukan dengan mandiri tanpa intervensi secara subtansial.
Kedua, Menumbuhkan semangat egaliter. Memang cara ini terkesan sepele, namun memiliki dampak yang luar biasa ketika sudah menjadi budaya akademik. Ada beberapa komunikasi yang intensif diantara dosen dan mahasiswa. Kesadaran untuk bekerja sama dan menempatkan diri pada derajat yang sama untuk mengembangkan keilmuan dalam kampus. Bukan untuk saling merendahkan satu sama lain karena dianggap keilmuannya rendah atau saling menutup diri diantara keduanya. Sifat eksklusif ini malah justru akan membahayakan proses akademik, terutama dalam penyelesaian studi mahasiswa.
Ketiga pengurangan semester, alternatif kebijakan ini sudah umum dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi dengan menerbitkan surat keterangan rektor atau dekan dengan ketentuan maksimum studi mahasiswa yang bervariasi. Ada yang 12 semester dan adapula yang 10 semester. Namun saya melihat efektifitas kebijakan ini dapat dirasakan oleh mahasiswa dan hasil kebijakan akan mantap dengan penekanan sosialisasi kebijakan tersebut, misalnya pemberitahuan tersebut dimasukan dalam kolom khusus di website kampus atau pemasangan baliho, pamflet dan sebagainya, selain itu bisa dengan pemberitahuan kepada orang tua atau wali mahasiswa dengan memberikan surat pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk memacu mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H