Lihat ke Halaman Asli

Muchamad Iqbal Arief

Independent Content Writer

Pilkada 2024: Apakah Masyarakat Masih Percaya dengan Proses Demokrasi?

Diperbarui: 28 Agustus 2024   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada 2024 sudah di depan mata, dan dengan itu, muncul pertanyaan mendesak: apakah kita masih percaya pada proses demokrasi ini? Setiap kali musim pemilihan tiba, banyak dari kita mungkin merasakan kelelahan, skeptisisme, atau bahkan apatis terhadap apa yang sering kali tampak sebagai siklus yang berulang---janji-janji manis yang tak pernah ditepati dan kampanye yang lebih sibuk menjatuhkan lawan daripada menawarkan solusi.

Di era di mana informasi mengalir begitu cepat dan seringkali tak terkendali, kepercayaan terhadap proses demokrasi sepertinya mengalami ujian berat. Apakah kamu merasakan hal yang sama? Bagaimana seharusnya kita memaknai Pilkada 2024 di tengah arus ketidakpastian dan kecemasan ini?

Demokrasi Lokal: Cermin atau Bayangan?

Pilkada, sebagai proses demokrasi di tingkat lokal, seharusnya menjadi cermin dari keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat. Namun, benarkah proses ini mencerminkan aspirasi kita, atau justru hanya menjadi bayangan dari kekuatan politik yang lebih besar? Banyak orang merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti, bahwa keputusan sudah ditentukan jauh sebelum mereka memasukkan surat suara ke dalam kotak.

Baca juga: Magnetisme Tokoh: Mengurai Enigma Elektabilitas dalam Pilkada 2024

Ada yang mengatakan bahwa Pilkada hanyalah permainan kekuasaan yang dimainkan oleh elit politik. Partai-partai besar memilih kandidat yang dianggap 'aman', tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar memahami masalah lokal yang kompleks. Akibatnya, banyak pemilih merasa diabaikan, dan ini memicu apatisme yang semakin meluas.

Apatisme: Tanda Putus Asa atau Bentuk Perlawanan?

Apatisme terhadap Pilkada sering kali dianggap sebagai tanda putus asa, seolah-olah masyarakat telah menyerah dan memilih untuk tidak peduli. Tapi apakah benar demikian? Atau, mungkinkah apatisme ini adalah bentuk lain dari perlawanan---sebuah cara untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem yang dirasa tidak lagi melayani kepentingan rakyat?

Banyak di antara kita mungkin merasa frustasi dengan proses yang ada, terutama ketika melihat calon-calon yang diajukan tidak membawa perubahan berarti dari masa ke masa. Di satu sisi, kita dihadapkan pada pilihan yang itu-itu saja, di sisi lain, suara kita seolah terperangkap dalam sistem yang hanya mengakomodasi kepentingan segelintir orang.

Harapan Baru atau Sekadar Mimpi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline