Lihat ke Halaman Asli

Sungkem Orangtua, Di Sanalah Kami Berlabuh

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1430267769397128131

[caption id="attachment_363392" align="aligncenter" width="393" caption="Sumber ilustrasi: https://rantinghijau.wordpress.com/2012/08/25/sungkem/"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Pesan singkat (SMS) Kasek SMAN Geger Madiun agar saya memberi motivasi kepada para siswa pada saat Hari Jadi almamater itu (26/4/2015), langsung saya jawab dengan kesediaan. “Sambil sungkem orangtua,” teriak saya dalam hati. Peribahasanya, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kadang, orang juga bilang, sambil menyelam minum air.

Saya tidak membeber acara di almamater tercinta di sini—intinya, sangat mantap dan mengesankan. Biarlah saya berbagi tentang sungkem saya dan keluarga kepada orangtua—ya Bapak dan Ibu tercinta, sesuatu yang ingin selalu saya lakukan sebulan sekali atau lebih sering lagi.  Bisa saya ibaratkan, di sanalah saya ingin senantiasa berlabuh.

Begitu tiba jalan menuju rumah, saya terhenyak; jalan ini becek berlumpur tipis—dan di tembok-tembok rumah atau pepohonan tampak bekas ketinggian air. Benar, ternyata, tetangga bilang, kemarin lusa telah terjadi banjir besar—setinggi bahu--bahkan ada yang masuk ke rumah. Untungnya, banjir tidaksempat bertamu ke rumah orangtua, mengingat rumah ini lebih tinggi beberapa senti dari rumah tetangga.

Saya terhanyut menatap Bapak dan Ibu. Di usianya yang menjelang 80 tahun, Bapak seharusnya masih segar bugar—namun, karena sakit kakinya akibat kecelakan 3 bulan silam, kini beliau berkesulitan untuk berjalan. Beliau harus menggunakan kruk atau tongkat (basa Jawa: teken) untuk membantu dirinya berjalan. Dibanding sebelum musibah terjadi, kondisi beliau saat menurun cukup tajam.

Meski demikian, seperti biasanya, Bapak senantiasa memancarkan harapan dan aura keteduhan hati. Setiap kata-kata yang beliau ungkapkan—meski kadang terasa keras—selalu memberikan makna-makna yang pantas dipetik hikmahnya. Beliau, yang telah berjuang keras untuk membesarkan saya dan adik-adik saya, kini tampak seperti itu. “Seluruh warga merindukan suara adzan yang dikumandangkan Mbah Man setiap shalat lima waktu,” kata seorang tetangga.

Sulit saya meneladani beliau hingga saat ini: Mendidik anak-anak dengan penuh keteladanan, menanamkan kerja keras dan tanggungjawab serta integritas, dan menerapkan reward-punishment dengan baik. Satu lagi yang sangat sulit diteladani, yakni keajekan atau keistiqomahan beliau dalam menegakkan shalat berjamaah. Hanya selama perawatan inilah beliau tidak bisa ajek ke mushala atau masjid—bukan hanya karena sulit berjalan, melainkan juga karena tidak bisa menekuk kaki. Jadi, beliau bershalat dengan duduk.

Ibu juga demikian. Beliau adalah Kartini yang sangat saya banggakan. Saya memiliki hubungan emosional sangat khusus dengan beliau. Jika beliau memikirkan saya, saya akan merasakannya—terasa keduten di mata atau tergigitlah lidah saat makan. Seperti kemarin ini, saat di Jakarta, saya merasakan getaran itu, maka saya teleponlah beliau—dan benar bahwa beliau berharap saya dan keluarga untuk pulang kampung. Beliau sudah kangen, padahal baru sekitar sebulan kami juga sungkem kepada beliau berdua.

Maka, sungkem menjadi wahana untuk berbakti kepada orangtua. Dengan bersua beliau, ternyata bukan hanya membahagiakan kami, melainkan juga menenteramkan mereka. Ibaratnya, rumah orangtua menjadi istana yang penuh keistimewaan dan kemewahan meski kami hanya makan sayur asam dan bothok plus tempe goreng. Tidur pun cukup di kasur yang tak seempuk kasur kami di rumah. Toh semua terasa nyaman.

Di sanalah saya ingin berlabuh dan memetik hikmah: bahwa menjadi tua itu sebuah keniscayaan dan itu cukup untuk memahami siklus kehidupan. Itulah mengapa, menjadi tua yang patut dijadikan teladan bagi anak-cucu adalah suatu kewajiban. Saya ingin anak-cucu saya meneladani kebiasaan saya dan isteri sungkem kepada orangtua, sebagaimana kami selalu ingin lakukan selama ini. Demikian pun, mereka juga akan meneruskan tradisi ini untuk anak cucu mereka.

Alangkah indahnya jika semua ini terwujud nyata. Jika anak-anak sudah seusia saya dan isteri kelak, kami tentulah akan tersenyum simpul menyaksikan anak-anak membawa anak-anak mereka mengunjungi dan sungkem kepada kami yang menua—sebagaimana Bapak-Ibu sekarang ini. Ketenteraman dan kebahagiaan akan terpancar di antara kami. Mudah-mudahan.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline