Lihat ke Halaman Asli

Budaya Literasi Pun Perlu Rekayasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1429559781258003599

[caption id="attachment_361788" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber ilustrasi: http://www.suryaonline.co/images/keraton-di-asean-ikuti-kirap-budaya-keraton-2013/#.VTQKNtKqqko"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Sebagaimana membangun budaya pada umumnya, budaya literasi membutuhkan rekayasa. Bagaimana rekayasa akan bekerja dalam membangun budaya literasi? Tulisan ini mencoba menjelaskannya secara ringkas.

Karena rekayasa bersifat sosial dan memberdayakan, ia perlu dijalankan oleh invidividu-individu atau institusi yang memiliki akses memadai untuk mengambil kebijakan atau tindakan rekayasa. Merekalah yang memegang kuasa dan wewenang untuk melakukan hal itu. Peran mereka akan mempercepat laju pemberdayaan literasi individual yang parsial dan sporadis. Ibaratnya, rekayasa itu gong-nya.

Namun, jika para pemegang otoritas tidak menghiraukan literasi, maka selain tetap menguatkan gerakan literasi diri dan keluarga (dengan keteladanan), tugas kita adalah memberikan tekanan sosial dan kultural dengan berbagai cara kepada pihak otoritas atau pemerintah untuk mengambil kebijakan rekayasa. Jika kebijakan rekayasa telah diambil dan diterapkan, konsekwensinya akan panjang dan luas.

Sebagai sebuah ilustrasi, kita mengenal bangsa India. Jumlah populasi bangsa India itu menempati urutan kedua terbesar di dunia—suatu kondisi yang pelik jika seandainya bapak pergerakan India, Mohandas Karamchand Gandhi (lebih dikenal dengan Mahatma Gandhi) dulu tidak mencanangkan “gerakan swadesi”—bangga memiliki bangsa sendiri. Semasa kolonialisme Inggris swadesi menjadi gerakan yang dilembagakan dalam organisasi. Di masa Gandhi, swadesi atau swadhesi makin mendapatkan ruhnya ketika ia mendefinisikannya sebagai “panggilan bagi konsumen untuk waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri mereka (asing atau penjajah) yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain.”

Gerakan swadesi membuahkan hasil yang luar biasa. Ketergantungan mereka pada produk luar negeri bukan segala-galanya. Mereka telah melek budaya, dan mereka menentukan sikap budayanya sebagai bangsa yang swadesi (mandiri). Mereka telah terdidik untuk lebih mencintai produk sendiri, termasuk sepeda motor dan mobil. Bahkan produk-produk budaya mereka, baik fashion, lagu, dan film berbasis sastra (semisal Mahabharata, Ramayana, dan Mahadewa) telah merajai acara-acara televisi di berbagai negara. Agaknya produk sepeda motor mereka, yakni TVS, yang diusung lewat internasionalisasi film-film berbasis sastra, akan membuahkan hasil yang cukup gemilang.

Ilustrasi lain, ini kebijakan literasi dalam peradaban Islam di masa khalifah Harun Ar-Rasyid. Sejarah mencatat, bahwa peradaban Islam mencapai puncak awalnya di Baghdad di bawah kepemimpinan khalifah ini. Membaca dibudayakan, buku-buku disediakan (termasuk gerakan menulis oleh para ilmuwan), perpustakaan dibangun besar-besaran, dan diskusi difasilitasi—singkatnya, dunia literasi amat dipentingkan. Hasilnya, sejarah mencatat, Islam mengalami masa keemasan. Puncak peradaban di Baghdad pun begitu melegenda di masa kekhalifahannya.

Pada masa itu dan berabad-abad selanjutnya, menurut Thomas Goldstein dalam buku The Dawn of Modern Science, merupakan “the gift of Islam” (hadiah Islam), di mana peradaban kaum muslim memberikan dampak besar terhadap Barat, termasuk bidang astronomi, geometri, aljabar, obat-obatan, kimia, dan ilmu pengetahuan lainnya. Lebih dari itu, peradaban Islam telah membentuk peradaban dunia Barat dalam bidang teknik, fashion, persenjataan, musik, hukum, dan sastra. Semua itu merupakan buah dari kebijakan literasi para khalifah, yang diawali oleh khalifah Harun Ar-Rasyid, demikian sitiran Fafi Inayatillah dalam pengantar prisiding seminar nasional Membangun Budaya Literasi pada 19 Oktober 2014.

Rekayasa, dengan demikian, tak bisa diabaikan dalam membangun budaya literasi. Banyak pihak perlu disinergikan agar rekayasa berjalan dengan baik. Demikian pun biaya yang harus dikeluarkan. Meski demikian, harga yang tercurahkan untuk pembudayaan literasi akan menjadi pantas tatkala budaya literasi tumbuh baik di negeri ini.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline