Lihat ke Halaman Asli

Membangun Literasi Diri dan Keluarga untuk Bangsa

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428160250112769803

[caption id="attachment_359095" align="aligncenter" width="399" caption="Ilustrasi: https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Bangsa kuat dibangun oleh jutaan keluarga kuat, dan keluarga kuat dibangun dengan mendidik diri dan anggota keluarga menjadi kuat. Mendidik diri menjadi pijakan awal bagi penciptaan keluarga dan (pada gilirannya) bangsa kuat.

Paradigma semacam itu sejatinya telah digunakan oleh para pemimpin berbagai bangsa di masa lampau. Ada pemimpin yang menerapkannya dengan cara koersif (tekanan), ada pula yang dengan cara persuasif-hegemonik.

Bangsa-bangsa besar seperti Mesir kuno dan China telah mencontohkan hal ini. Mereka membangun bangsa kuat dengan memperkuat basis keluarga. Di abad modern ini Amerika Serikat termasuk salah satu negeri yang secara sistemik dan masif telah menempuh langkah besar itu.

Pasca Perang Dunia II Amerika makmur, namun khawatir akan ancaman perang dingin dengan Uni Soviet kala itu. Perang dingin itu menempatkan dua negeri adidaya dalam perang ideologi—demokrasi versus komunisme. Amerika menempuh kebijakan politik homeward-bound di dalam negeri dan politik internasionalisasi ke luar negeri.

Homeward-bound itu gerakan kembali terikat ke rumah atau keluarga. Ibu-ibu atau wanita karir harus kembali mendidik keluarga. Hanya laki-laki yang wajib mencari nafkah. Anak-anak harus mendapat pendidikan dan perhatian penuh dari orangtua mereka. Tanpa disadari, anak-anak meyakini bahwa demokrasi lebih baik daripada komunisme.

Apa yang terjadi kemudian? Militansi generasi Amerika (dalam berbagai lini perjuangan) begitu dahsyat. Ada kebanggaan jadi bangsa Amerika, termasuk yang terpantul dalam media, karya sastra atau seni film—bahkan, meski kalah Perang Vietnam, mereka “memenangkan” bangsanya lewat film Rambo. Dan, terbuktilah, gaung demokrasi lebih luas di dunia ini daripada komunisme—terlebih sejak tumbangnya Uni Soviet pada 1990-an.

Ilustrasi di atas membuktikan betapa mendidik diri dan keluarga sangatlah penting untuk membangun bangsa kuat. Intinya tentu mendidik diri itu sendiri. Jika kepala rumah tangga ingin mendapati keluarga yang solid dan visioner, dia wajib terlebih dulu mendidik diri untuk solid dan visioner.

Konsep keteladanan agaknya wajib diterapkan dalam pendidikan keluarga. Jika tiada keteladanan, impian untuk hadirnya keluarga kuat nyaris mustahil. Orangtua adalah salah satu cermin anak-anak, baik ucapan, sikap maupun perilakunya. Di luar rumah mereka akan menambah referensi untuk menguatkan peneladanan dari orangtuanya.

Pembudayaan Literasi

Dalam konteks literasi, saya mengajak setiap keluarga (terlebih keluarga muslim) untuk membudayakan membaca dan menulis. Dalam Al-Qur’an kedua keterampilan ini tegas dilegalkan, dan diwajibkan untuk diamalkan. Artinya, jika ditinggalkan, kita akan berdosa, baik dosa individual maupun dosa sosial-kultural.

Membaca dan menulis itu sebuah ibadah, yang tidak boleh ditinggalkan. Harus kita bangkitkan sebuah kesadaran sosial akan pentingnya membaca dan menulis itu. Setidaknya, budaya membaca tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk diwujudkan di dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa ini.

Ibadah pembudayaan membaca dan menulis itu juga menganut konsep keteladanan. Sebagaimana kita menyuruh anak untuk shalat dengan rajin shalat atau mengaji, kita bisa memaksa anak untuk membaca dan menulis dengan rajin melakukan keduanya. Jika tidak begitu, omong kosong belaka.

Mengapa mambaca dan menulis penting dalam pembangunan bangsa ini? Membaca itu jendela dunia, membaca itu mencerdaskan, dan membaca itu membekali pembacanya untuk menguasai berbagai hal. Syarat mutlak untuk mengetahui sesuatu adalah iqra, membaca—baik teks maupun konteks. Untuk menulis pun, orang wajib banyak membaca!

Saya bangga di Surabaya telah dibangun 400-an taman bacaan masyarakat, demikian pula kebijakan Kemendikbud yang telah memfasilitasi ribuan atau jutaan TBM yang tersebar seantero negeri. Meski demikian, saya juga sedih mendapati bahwa fasilitas tersebut belum dimaksimalkan pemanfaatannya oleh masyarakat.

Itulah justifikasi bahwa kesadaran membaca masyarakat kita masih rendah. Dalam buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku (Eko Prasetyo dkk, 2014) terungkap: rendahnya kebiasaan membaca di sekolahpernah dicap Taufik Ismail sebagai tragedi nol buku. Jika tragedi itu tidak segera mendapat jawaban nyata, ancaman ‘kiamat’ literasi menghantui.Malah, mungkin bangsa ini akan kehilangan ghirah peradabannya.

Jadi, titik pijaknya adalah pembudayaan membaca itu. Dan ternyata, kesadaran-lah yang masih “tidur” dan belum tumbuh berkembang. Seiring dengan itu, pembudayaan menulis juga perlu digerakkan ke berbagai lini, termasuk lewat lini pendidikan. Pembudayaan literasi itu harga mahal yang layak untuk membangun sebuah bangsa yang kuat.

Kolaborasi

Saya tidak mendistorsi konsep literasi menjadi membaca-menulis. Namun, dalam praktiknya, dua keterampilan ini potensial untuk mendasari pembudayaan literasi. Sementara, sebagai gerakan kultural, pembudayaan literasi untuk peradaban perlu kolaborasi sinergis dari berbagai kalangan.

Marilah melakukan kolaborasi antar individu pegiat literasi, antar lembaga literasi, untuk menggugah kesadar berliterasi, sambil menjolok kepedulian pemerintah atau negara untuk menggerakkan pembudayaan literasi untuk bangsa. Akhir-akhir ini sudah banyak individu atau lembaga yang bergerak secara sporadis. Semua harus dikolaborasikan. Jika kolaborasi bisa dibangun bagus, kekuatan penetrasi ke sel-sel gerakan kultural bakal menunjukkan hasilnya. Di sanalah peradaban bangsa bisa kita gantungkan.

Yang jelas, peradaban bangsa tak bisa lepas dari pembudayaan literasi. Tanpa budaya membaca—juga budaya menulis—mana mungkin peradaban dibangun dan ditegakkan? Dua aspek budaya literasi ini harus diretas secara sungguh-sungguh,demi peradaban bangsa yang lebih bermartabat dan terhormat di mata bangsa lain.*

Catatan: Artikel ini pernah saya kirimkan ke majalah Binaqolam, namun sampai sekarang saya belum mendapat pemberitahuan pemuatan/penolakannya. Jika pernah dimuat, saya mohon izin untuk memasangnya di sini. Terima kasih banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline