[caption id="attachment_291654" align="alignnone" width="448" caption="Di kantor inilah pertama kali nama jalan itu kami lihat. (Dok.Pribadi)"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Judul itu nama jalan yang membentang di tengah kota Jombang. Dari depan kampus Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, jalan itu lurus ke barat-timur sekitar 1.500 meter. Hadir di sana kampus, GOR, deretan pertokoan, sentra PKL, perkantoran, hotel, rumah makan, dan simbol-simbol birokrasi.
Saya sering melewati jalan itu, kalau saya bertugas di Jombang dan sekitarnya—atau saat kami sekeluarga bersilaturahim ke rumah teman, atau saat kami harus ke Madiun untuk sowan orangtua tercinta. Namun, ini bukan sulap bukan sihir; nama baru itu saya temukan secara kebetulan.
Belum lama ini kami harus sowan ke bapak-ibuk di Madiun. Waktu makan siang sudah tiba saat kami melewati Undar. Saat saya menoleh ke kanan, ke seberang Undar, mobil pikap nasi pecel itu sudah tidak ada. Mau mandek di sentra PKL stadion, ruame-nya masyaallah. Maka, kami putuskan mampir di RM Pojok 2 nanti. Banyak pilihan, plus sambil shalat dhuhur.
Enak-enaknya rembukan, lampu lalu-tintas merah. Nah, saat berhenti inilah, persis pada arah kanan kami ada kantor Dinas Pendapatan, komplit dengan alamatnya. Saya, isteri, dan Anis sontak berteriak “Wow, Jalan Presiden KH Abdurrahman Wahid.” Malah Anis buru-buru mengacungkan jempolnya, “Keren sanget, Yah. ” Kameranya pun sudah jepret-jepret entah berapa kali.
Tentu kami terkagum-kagum. Sejak kapan nama itu mengganti nama Jalan Mardeka hampir setiap waktu ini? Kami cukup paham kawasan sepanjang jalan ini. Kami pernah menginap di Hotel Sentral, yang di depannya ada rumah-makan sop kepala ikan. Saat malam turun, di sana ada lontong-kikil maknyus yang super laris manis.
Setahu kami itu Jalan Merdeka. Nah, kalau ada perubahan, pastilah ada “sesuatu” [kata Syahrini] di baliknya. Sambil menyetir ke arah RM Pojok 2 saya “merancang” (dalam benak) artikel ini. Lalu, setelah shalat dhuhur di RM Pojok 2, saya googling untuk melacak informasi tentang jalan itu.
Sekilas infonya, penggantian nama digedok pemkab dan DPRD Jombang tahun2012, untuk menandai 1000 hari wafatnya mantan presiden RI itu. Rencananya, malah sejak beliau wafat tahun 2009. Kini, jalan itu menyambung dengan Jalan KH Wahid Hasyim (ayah kandungnya) yang terlebih dulu menjadi nama jalan di pusat kota Jombang membujur ke selatan hingga stasiun kereta api.
[caption id="attachment_291655" align="alignnone" width="300" caption="Suasana saat peresmian jalan tersebut. (*Sumber lihat catatan kaki)"]
[/caption]
Sambil melanjutkan perjalanan ke Madiun, saya pun menulis artikel dalam pikiran belaka. Saya belum punya alat yang bisa meng-convert pikiran dan perasaan saya (yang sering bekerja saat berkendara atau berkegiatan lain) ke bentuk tulisan. Baru sekaranglah “tulisan dalam pikiran” saya itu saya convert (ubah versi) ke dalam tulisan ini.
Baiklah, nama jalan itu menarik diulik. Ada simbol-simbol yang tersimpan dari nama itu. Ada kata “presiden”, ada frasa “kiai haji”, ada frasa “Abdurrahman Wahid”—lalu ketiganya dipatrikan menjadi sebuah nama jalan. Ada makna signifikan sebagai implikasinya.
Presiden itu gelar berkonotasi umara (pemimpin negara); dan kiai-haji itu ulama pada maqam tinggi. Perpaduan gelar umara dan ulama ke dalam pribadi Abdurrahman Wahid—yang akrab disapa Gus Dur—melengkapi identitas individual/personalnya. Gelar umara dan ulama itu simbol identitas sosial-kulturalnya yang kuat. Klop sudah, kan?
Dengan karakter Gus Dur, yang melekat dalam identitas personalnya, orang mengenalnya sebagai pribadi cerdas (berpikir lateral), humoris, dermawan, pluralis, inklusif, sederhana, santai dalam menyikapi masalah (“begitu aja kok repot?”). Rakyat jelata seperti saya menemukan sosok persona idaman dalam pribadi Gus Dur.
Nah, ketika identitas sosial-kultural (sebagai umara dan ulama) dilekatkan pada identitas personalnya, maka lengkaplah sudah aktualisasi dirinya. Tak pelak, ia menjadi figur panutan yang dibanggakan. Fakta menunjukkan, sejak ia wafat hingga kini, pusaranya tak pernah sepi peziarah. Etnis Tionghoa mengelukannya. PNS banyak yang memujinya berkat kenaikan gaji. Sekarang jadi rebutan tokoh-tokoh politik Nadliyin untuk kampanye...hehehe.
Tampaknya kesatuan identitas itulah yang mencerminkan keutuhan identitas yang paripurna. Terlebih, semua itu ada dalam seorang pribadi dengan kualitas yang tinggi pula. Tak mudah menemukan figur lain dengan identitas dan kualitas seperti itu. Ada belasan buku yang mengupas kehidupan pribadi dan sosial-politik, dan keulamaan Gus Dur.
Dengan demikian, penulisan nama jalan yang begitu lengkap itu bukan hanya mengabadikan keharuman nama Gus Dur, melainkan pemberian pesan tersembunyi bagi masyarakat untuk becermin: mana yang pantas diserap dari kualitas Gus Dur untuk pengembangan diri. Istilah pak-bu guru, itu (bahan) refleksi untuk menghayati hidup ini dengan baik.
Memang Gus Dur telah pulang—bukan pergi. Namun, namanya terukir abadi bukan hanya muncul sebagai nama jalan pengganti Jalan Merdeka, melainkan juga abadi melekat di hati warga Nahdliyin dan masyarakat pada umumnya. Ibaratnya, Gus Dur selalu hidup tanpa batas waktu. Wallahu a’lam bishshawab.***
Surabaya, 23 Januari 2014.
Sumber ilustrasi peresmian jalan: http://ekbis.sindonews.com/read/2012/10/28/23/683340/55-tempat-gelar-khataman-alquran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H