Lihat ke Halaman Asli

Golis Hari Keenam

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390614013174748442

[caption id="attachment_291897" align="alignnone" width="448" caption="Sebuah impian untuk gowes bareng. (Sumber ilustrasi di bawah tulisan)."][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Sabtu pagi ini hari keenam saya menjalani program paket peningkatan diri. Program itu saya namai “golis”, akronim dari gowes dan menulis. Jadi, harafiahnya, golis itu paket tak terpisahkan berupa gowes-menulis. Setiap hari pula.

Program golis saya sudah memasuki hari keenam. Setiap pagi saya berlatih gowes, menyusuri jalan-jalan di perumnas Kota Baru Driyorejo yang luasnya memang masyaallah ini. Bahkan, jika ada waktu, saya nambah latihan gowes sore hari selama 30 menit.

Saya belum bisa menilai apakah saya telah lulus program latihan golis ini. Kalau menulis, saya sudah lulus (*narsis.com)—nyatanya, saya sudah bisa disiplin menulis setiap hari. Untuk menulis dan sekaligus gowes, wuich, saya masih tak bisa bilang apa-apa. Masih berat, Mas Bro!

Dampaknya memang mulai terasa. Dengan gobyos setiap gowes, badan terasa lebih enteng dan bugar. Sekujur badan bergerak saat gowes alias ngonthel—berbeda dengan jalan kaki atau jogging. Wabil-khusus untuk saya, dan kaum LGG (lemu ginuk-ginuk), jalan kaki malah cepat payah, karena kaki ini harus menyangga berat badan. Kalau gowes, lain ceritanya...

Nah, karena segar dan bugar, fisik jadi enak untuk bekerja. Otak terasa lebih encer dikit—dan terasa lebih nyaman untuk berkarya. Itu yang baik-baik. Lho kok? Ada sih yang kurang nyaman, yakni njaremi. Karena masih latihan, pantat njaremi karena sadel sepeda yang mungil; lutut pun njaremi karena ngonthel terutama di jalan menanjak.

“Santai saja, Pak,” hibur penggowes (“goweser”) senior, tetangga saya. “Kalau sudah terbiasa, nggak njaremi lagi. Sudah beli pad untuk sadel, kan?”

Pad sadel itu membuat sadel lebih empuk. “Sudah, Mas. Malah asesoris lain.”

“Bagus, Pak. Kalau gitu, Minggu siap dong untuk gabung ke Bungkul?”

“Entahlah, Mas. Mudah-mudahan,” jawab saya. Bathin saya, walah, kuatkah saya bergabung dengan para penggowes yang akan berkumpul di Taman Bungkul Surabaya itu. “Sambil menikmati car-free day, bagus juga ya?”

Saya bayangkan saya bergabung dengan para mania gowes Minggu besok. Ah, betapa senangnya gowes bareng puluhan atau ratusan orang. Betapa manisnya jalan-jalan besar di Surabaya bebas dari mobil-mobil, terisi hanya oleh sepeda onthel kami dan mereka yang berjalan kaki—baik jalan sehat maupun jalan kaki ke tempat kerja. Betapa indahnya Surabaya menjadi “desa” kembali—lengang, sejuk, dan segar hawanya.

Tentu, saya akan membawa kamera. Akan saya jepret apa yang menarik bagi saya, untuk membantu otak saya merekam objek dan peristiwa yang pantas untuk ditulis. Pasti ada yang menarik! Itu artinya saya punya bahan atau pemantik untuk tulisan saya. Bayangkan jika setiap gowes saya merekam segala sesuatunya dengan otak dan kamera itu, asyik bukan?

Ups, kembali ke latihan gowes dulu. Program golis harus dilanjutkan dulu. Masalah gabung dengan komunitas goweser, itu simpel. Yang penting, latihan yang benar dulu. Semua ada waktunya yang tepat, dan selalu ada momentum untuk impian yang kuat.

Matahari telah menghangat, jalan sudah mulai ramai. Ini saya telah gowes beberapa saat, dan istirahat turun mimum, untuk menulis sejenak. Sekarang, karena nulisnya kelar, kini saatnya untuk lanjut gowes lagi....Ayo menyanyi: “Pokoke golis, pokoke golis, pokoke golis...”***

Driyorejo, 25 Januari 2014

Sumber ilustrasi: http://www.lensaindonesia.com/2012/10/21/wow-10-ribu-peserta-gowes-sehat-bareng-alfamart-hebohkan-surabaya.html




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline