[caption id="attachment_290305" align="alignnone" width="448" caption="Beningnya air pantai Gili Trawangan, menjelang kami merapat."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Setelah Gili Meno, kami menyeberang ke Gili Trawangan. Dari peta tampak, pulau ini pulau terbesar dari ketiga pulau kecil atau gili yang terdapat di sebelah barat laut Lombok. Yang belum tersebut di sini adalah Gili Air, gili yang paling kecil.
Menurut informasi, Trawangan juga satu-satunya gili yang ketinggiannya di atas permukaan laut cukup signifikan. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, Trawangan berpopulasi kurang dari 1000 jiwa. Lebih lanjut, Trawangan memiliki fasilitas untuk wisatawan yang paling beragam.
Hal pertama dan utama yang ingin kami rasakan setiba di Trawangan ialah naik cidomo (cikar-dokar-mobil) untuk mengitari garis tepian pulau eksotik ini. Kami dengar, Trawangan adalah pulau terkecil di dunia yang ada bar Irlandia-nya. Jika berjalan, kami pasti kecapekan; karena itu, kami harus naik cidomo.
[caption id="attachment_290308" align="alignnone" width="448" caption="Gagal naik cidomo ini, saya pun hanya memfotonya. (Dok.Pribadi)"] [/caption]
Ternyata, keberuntungan bukanlah milik kami. Tak satu pun cidomo yang menganggur—semuanya telah di-booking (baca: diprioritaskan) untuk wisatawan asing, atau sedang beroperasi. Kebetulan pada saat sama, ada rombongan mereka yang sedang turun dari kapal jet berwarna putih. Agaknya merekalah yang telah memborong cidomo itu.
[caption id="attachment_290309" align="alignnone" width="448" caption="Para turis asing telah memborong booking-an cidomo. Syukurlah, laris-manis. (Dok.Pribadi)"]
[/caption]
Kata petugas, jika mau bersabar, kami bisa antre setelah mereka menaikinya sekitar dua jam kemudian. Jika tawaran ini kami ambil, berarti kami akan pulang terlalu sore; dan ini bukanlah hal yang kami inginkan. Mau naik cidomo barang (misalnya pengangkut pasir hitam), ah, apa nanti kata dunia?
Kami memutuskan untuk membuat acara masing-masing. Ada yang menyewa sepeda onthel (angin)—ada yang tunggal, ada yang gandeng—untuk mengelilingi pulau ini. Ada yang bercakap dengan penduduk setempat. Ada pula yang berjalan-jalan melihat berbagai jenis toko atau shop yang berjajar dengan aneka display. Ada pula yang hanya duduk mengamati sekitar sambil menikmati minuman di kedai tepi pantai.
Saya sendiri bersantai saja. Setelah menunaikan shalat, saya berjalan kaki, dan membaca-baca keadaan. Saya penasaran, konon, Trawangan punya nuansa pesta lebih daripada Gili Meno atau Gili Air, karena banyaknya pesta sepanjang malam yang setiap malamnya dirotasi acaranya oleh beberapa tempat keramaian. Dari hasil ngobrol dan amatan, saya haruslah membenarkan semua itu.
[caption id="attachment_290311" align="alignnone" width="448" caption="Inilah salah satu rumah bar dan bungalo. (Dok.Pribadi)"]
[/caption]
Salah satu tempat sebagai simbol pesta adalah “Sama-sama Bar & Bungalows” atau “Santa Dive”. Di sini orang bisa menemukan nuansa bermain, berlatih, makan-minum, menyanyi, istirahat—dan tidur tentunya. Bahkan, nuansa gaya hidup Barat begitu kental terasa. Itulah mengapa sebagian orang menyebut Trawangan sebagai pulau bule—karena begitu banyaknya wisatawan asing yang berlibur di gili yang eksotik ini.
[caption id="attachment_290312" align="alignnone" width="448" caption="Mau diving dan lain-lain, inilah salah satu pusatnya. (Dok.Pribadi)"]
[/caption]
Bagi wisatawan (asing), Trawangan ini merupakan surga tersendiri. (Lombok sendiri telah mereka sebut Paradise Island, pulau surga). Banyak aktivitas santai yang terfasilitasi di sini. Aktivitas yang populer dilakukan para wisatawan di Trawangan adalah scuba diving (dengan sertifikasi PADI), snorkeling (di pantai sebelah timur laut), atau berselancar. Bahkan, ada juga beberapa tempat bagi para wisatawan belajar berkuda mengelilingi pulau.
Namun, jangan bayangkan Anda bisa naik sepeda motor atau mobil. Di Gili Trawangan (begitu juga di Gili Meno dan Gili Air), tidak ada kendaraan bermotor, karena tidak diizinkan oleh aturan lokal. Sarana transportasi yang lazim adalah sepeda onthel dan cidomo tadi. Sementara itu, untuk bepergian ke dan dari ketiga gili, penduduk atau wisatawan biasanya menggunakan kapal bermotor dan speedboat.
Akhirnya, selepas waktu ashar kami memutuskan pulang—diiringi hujan turun yang mulai lebat. Menurut pemilik perahu/kapal, pulang lebih awal itu lebih baik; dikhawatirkan nanti malah harus menghadapi kabut dan naiknya gelombang. Dengan kenekadan yang menyatu, kami pun kembali menyeberang laut yang menggoncang-goncang itu, menuju minibus kami.
Saat begini, perasaan ngeri pastilah ada. Namun, kepuasan kami selama separuh hari di Trawangan seakan melumat dan menelan kengerian itu. Terlebih, kami sedang membayangkan untuk segera menemukan rumah makan yang khas lombok—atau setidaknya R.M. Taliwang Pamenang. Wow, ikan bakarnya, ayamnya, sambelnya, minumannya—eit, sayangnya, semua masih dalam bayangan.***
Copyrights@Much.Khoiri, 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H