[caption id="attachment_323802" align="aligncenter" width="448" caption="Mejeng seusai bedah-buku "][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Prioritas memang perlu dipasang pada sesuatu yang lebih penting daripada lainnya. Ia berlaku, terutama, tatkala ada beberapa pilihan yang seharusnya diambil, dan memilih yang terbaik di antaranya. Demikian pun dengan prioritas target saya dalam menulis.
Menulis untuk surat-kabar itu penting, demikian pun untuk berbagai seminar atau jurnal atau media-massa harian, sama pula untuk blog—termasuk kompasiana. Namun, karena berbagai kondisi urgen, dalam beberapa bulan ini saya telah memprioritaskan diri menggarap buku.
Ya, semenjak menjelang hadirnya tahun 2014, saya lebih banyak berkutat dalam penulisan buku. Saat itu saya termasuk yang diajak kompasianer Eko Prasetyo, yang juga alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), untuk menulis buku bersama belasan alumni lain. Akhirnya kami melahirkan buku yang bertajuk “Pena Alumni: Membangun Unesa melalui Budaya Literasi” (PT Revka Petra Media, Des 2013).
Tak lama setelah itu, saya menyusun buku yang kemudian saya titipkan pada Mas Thamrin Sonata agar diterbitkan Elex Media Komputindo. Semula saya mendapatkan kabar gembira bahwa ia akan diterbitkan pada Agustus 2014. Lalu, Rabu (10/9) kemarin, saat kami bertandang ke penerbit itu, kepastian itu ada. Insyaallah dalam waktu dekat buku saya akan menyapa pembaca.
Kemudian, sejak sekitar Februari 2014 saya bekerja maraton untuk menggarap buku, baik sebagai penulis tunggal maupun penulis keroyokan. Akhirnya muncullah buku “Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku” (PT Revka Petra Media, Mei 2014), yang ditulis oleh 16 penulis alumni Unesa. Editornya: Eko Prasetyo, Suhartoko, dan saya sendiri.
Pada saat bersamaan saya juga menerbitkan buku tunggal saya “Jejak Budaya Meretas Peradaban” (Jalindo-SatuKata, Mei 2014), yang menghimpun 41 esei jejak budaya saya. Semula saya hanya mencetaknya dalam jumlah terbatas, namun ternyata buku ini ludes dalam waktu singkat—bahkan sebelum di-launching atau dibedah. Sekarang, cetak-ulang sudah selesai, insyaallah akan siap untuk peluncuran atau bedah buku.
Belum lagi istirahat dari menahan-napas, saya dipercaya profesor muda Unesa yang supersibuk, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela M.Pd, untuk mendampinginya menjadi editor buku “Muchlas Samani: Aksi dan Inspirasi” (Unesa University Press, Juli 2014). Buku yang digagas dan difasilitasi penuh (serta diberi pengantar) oleh PR-1 Unesa Prof. Dr. Kisyani-Laksono M.Hum ini akan disusul oleh calon buku berikutnya, yang akan dipersembahkan untuk Unesa saat Dies Natalis pada Desember 2014 mendatang.
Sambil menunggu review naskah dari dua Skrikandi Unesa tersebut, saya juga sedang menggarap sebuah buku memoar tentang anak saya yang telah berpulang Maret 2007 silam. Sampai detik ini saya sudah menggarap 15 tulisan dari 18 tulisan yang saya rencanakan. Tinggal dua tulisan lagi, karena satu tulisan telah saya peroleh dari Naguib Mahfoudz, anak kedua saya.
Begitulah, saya telah memainkan prioritas target dalam menulis. Bukan berarti bahwa menulis untuk media atau forum lain tidaklah penting. Sama sekali bukan! Saya memandang bahwa membuat buku lebih mendesak dari pada yang lain. Sementara itu, tulisan lain di luar tema buku masih saya tulis dan terbitkan dengan frekwensi agak menurun dibanding dulu.
Meski demikian, saya tetaplah menulis setiap hari. Saya tetap menerapkan taqline yang saya adopsi dari ungkapan pengarang Mesir “I am a government employee in the morning and a writer in the evening” (Pagi saya pegawai negeri dan petang pengarang.) Bahkan, untuk memacu diri lebih kuat, saya memasang di background laptop dan ponsel saya dengan semboyan “Write or Die” (menulis atau mati!).
Mengapa saya kurang begitu aktif menulis untuk kompasiana, harian Duta Masyarakat atau media lain dalam bulan-bulan terakhir, sebenarnya dilatari oleh pemilihan prioritas target menulis sebagaimana saya paparkan di atas. Apakah tren prioritas akan bergeser, saya belum tahu pasti.
Yang jelas, rencana menulis untuk tahun ini sudah saya buat. Ada beberapa “proyek penulisan” yang saya impikan untuk diwujudkan—tentu di antara tumpukan tugas rutin yang harus saya bereskan. Selebihnya, saya akan tentukan sambil menyelami dan mendalami panggilan waktu dan tugas dalam hidup ini.***
Surabaya, 13/09/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H