Lihat ke Halaman Asli

Hargai Penulis dengan Membeli Karyanya

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1411208763897713689

[caption id="attachment_324732" align="aligncenter" width="500" caption="Warna kover tak seindah warna nasib penulis. (Sumber ilustrasi di bawah artikel ini.)"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

JUDUL di atas mungkin tidak sepenuhnya benar dan tepat. Nyatanya, ada orang yang mendebat bahwa menghargai penulis itu jika ia bisa memahami ilmu yang disampaikan dan kemudian mengembangkannya. Nyatanya, ada pula yang sepakat bahwa menghargai penulis bukan semata dengan memberikan imbalan serupa uang—mungkin berkat pertemanan!

Anggapan bahwa menghargai penulis tidak harus dengan membeli bukunya, tentu ada benarnya. Kapan? Biasanya ketika si penulis dianggap kaya atau tidak berkesulitan dalam soal keuangan, atau berkat pertemanan. Lalu, orang begitu berbunga-bunga hatinya ketika diberi buku gratis oleh penulisnya, dengan menganggap (lagi) bahwa buku itu sebuah hadiah, dan hadiah memiliki makna tersendiri selain uang belaka.

Namun, marilah kita realistis. Berapa sih jumlah penulis yang kaya (bukan dari menulis) dan membagi-bagikan karyanya secara gratis? Lalu, seberapa kuatkah penulis semacam itu akan mendermakan karya-karyanya ke depan? Berapa judul buku lagi yang akan mampu disedekahkan atau di-jariyah-kan?

Penulis yang tergolong ‘penulis dermawan langka’ semacam itu tentulah amat sulit ditemukan. Yang jumlahnya lebih banyak sedikit adalah penulis yang sukses, dengan penjualan karya yang meledak, semacam J.K Rowling dengan Harry Potter-nya, Andrea Herata dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya, dan Kang Abik dengan Ketika Cinta Bertasbih. Sementara, penulis kebanyakan adalah mereka yang bukunya tidak selalu laku, dan mereka yang baru memulai karirnya menulis (buku).

Mencermati kenyataan ini, tampak bahwa selain penulis yang memang kaya dari sono-nya, adalah sama-sama berangkat dari penulis biasa, yakni penulis yang memulai dari nol ibaratnya. Mungkin sama-sama keras usahanya, namun satunya lebih beruntung daripada lainnya. Namun, judulnya tetaplah sama, bahwa penulis kaya seperti J.K Rowling, Andrea Herata, dan Kang Abik semula juga penulis biasa—namun dengan keberuntungan (royalti) yang lebih baik.

Sekarang, dari manakah royalti itu diperoleh oleh penulis? Tentu saja dari sekian persen penjualan buku karya si penulis. Artinya, semakin banyak royalti, semakin banyak buku yang telah dibeli oleh pembaca. Maknanya, jika Anda telah membeli buku itu, Anda tentu ikut menambah omset penjualan buku, dan akhirnya mendongkrak besaran royalti bagi penulis. Dengan demikian, ada hubungan lurus antara pembelian buku oleh pembaca dan besar-kecilnya royalti penulis.

Itu berlaku jika buku yang dihasilkan penulis itu diterbitkan dan dipasarkan oleh penerbit. Penulis hanya bertugas menulis, selebihnya (termasuk editing, layout, pengurusan ISBN, pencetakan, dan pemasaran) adalah tanggungjawab penerbit. Namun, jika buku itu diterbitkan secara indie publishing (dengan menyewa penerbit tapi atas biaya sendiri), tidak ada royalti khusus kecuali keuntungan dari penjualan (dikurangan biaya produksi).

Nah, jika ada orang hanya suka menerima (hadiah) buku dari penulis tanpa membelinya, itu artinya mengurangi pemasukan atau imbalan finansial bagi penulisnya. Jika bukunya diterbitkan oleh penerbit, minta gratisan itu artinya menyunat jatah royalti penulisnya; sedangkan jika diterbitkan secara indie, itu juga menyunat keuntungan finansial. Buku gratisan sama-sama tidak menghargai penulis secara finansial.

Padahal, secara jujur, perlu diakui bahwa penulis juga memiliki keluarga yang harus ditanggung, ada impian yang harus diwujudkan. Sederhana saja, penulis tidak bisa membeli bensin atau sepiring nasi pecel dengan sebuah buku—melainkan harus dengan uang. Dari manakah uang itu kalau bukan dari royalti atau penjualan buku, dan kegiatan yang terkait dengan penulisan bukunya?

Oleh karena itu, mungkin kita perlu membiasakan diri untuk membeli buku karya penulis dalam rangka untuk menghargai jerih payah dan kreativitasnya. Menerima hadiah buku berkat pertemanan tentu tidak ada salahnya; namun, menggantinya dengan uang seharga buku itu agaknya lebih realistis dan beradab.

Artikel ini hanya dimaksudkan untuk kondisi standar dan normal. Bahwa membeli buku penulis termasuk memperpanjang nafasnya untuk berkarya. Pun membeli bukunya, secara tak langsung, ikut berinvestasi memajukan peradaban. ***

Surabaya, 20/9/2019

Sumber ilustrasi: http://nerbitkanbuku.com/. Saya sampaikan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline