Lihat ke Halaman Asli

Surabaya Kota Literasi: Siswa Baca 15 Menit Sehari

Diperbarui: 4 April 2017   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14112554461289435125

[caption id="attachment_324809" align="alignnone" width="448" caption="Dukungan kuat untuk Surabaya Kota Literasi. (Sumber ilustrasi di bawah artikel ini.)"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

HARI-HARI ini ada aora baru yang mulai menyaput langit kota Surabaya, yakni ghirah besar untuk mewarnai kota Pahlawan ini dengan program ‘Surabaya Kota Literasi’. Ini merupakan tindak lanjut dari deklarasi Surabaya sebagai Kota Literasi oleh Wali Kota Tri Rismaharini pada hari pendidikan nasional. Tujuannya, meningkatkan minat baca (budaya baca) anak-anak Surabaya.

Deklarasi penting ini telah ditindaklanjuti dengan sosialisasi program ‘Surabaya Kota Literasi’ oleh Dinas Pendidikan Surabaya di hadapan seluruh kepala sekolah SD, SMP, dan SMA/SMK se-Surabaya pada 16-18 September 2014. Salah satu pembicaranya, Satria Dharma, alumnus Unesa dan ketua umum IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Dalam hal ini Disdik Surabaya telah menentukan kebijakannya terkait dengan program itu. Secara garis besar, budaya literasi perlu dimasukkan ke Kurikulum-13 dan wajib diterapkan di semua sekolah mulai SD hingga SMA. Dengan mencantolkannya di dalam muatan kurikulum, payung hukumnya jelas dan meyakinkan. Seharusnya implementasinya tidak meragukan lagi, bahkan harus terwujud dengan nyata. Tentu, hal ini diharapkan mampu mengobati kekhawatiran sejumlah pihak akan ketidakberpihakan K-13 terhadap dunia literasi.

Budaya literasi, karena itu, wajib diterapkan di seluruh sekolah mulai SD hingga SMA/K. Sebuah kebijakan yang berani dan penuh tantangan. Pewajiban ini tentu membawa konsekwensi bahwa tidak ada kekecualian di dalamnya, dan bahwa perlu dilakukan secara kolaboratif dan sinergis. Manajemen program sebesar ini haruslah kuat. Jika tidak, program prestisius ini pastilah akan berantakan di tengah jalan.

Yang penting dicatat, sekolah harus menyediakan 15 menit bagi siswa untuk membaca. Tidak lama, namun jika rutin, dampaknya akan luar biasa. Hal-hal teknis tentang penyediaan waktu 15 menit ini perlu diatur sedemikian agar tidak mengganggu jam-jam efektif pembelajaran. Waktunya bisa pagi hari sebelum memulai jam pertama pembelajaran di kelas, atau siang hari setelah jam terakhir.

Berdasar survei, kebiasaan membaca sebelum masuk kelas, telah diberlakukan sekitar setahun terakhir ini di SMAN 5 Surabaya. Saya pernah membuktikannya di sekolah itu. Siswa wajib membaca buku-buku pilihannya sendiri, dan dalam kurun waktu tertentu mereka harus menyelesaikan satu buku. Tak lupa, mereka membuat review atau resensi terhadap buku yang mereka baca. Sampai hari ini sudah ribuan buku yang dibaca oleh siswa secara simultan.

Pembiasaan membaca di pagi hari, sebagaimana di SMAN 5 Surabaya itu, mungkin terasa berat bagi sebagian siswa yang belum terbiasa, termasuk guru-guru pendamping, terlebih menyangkut buku-buku yang harus disediakan. Namun, seiring berjalannya waktu, pembiasaan itu akhirnya menundukkan berbagai kendala yang menghadang. Saya dengar, pelaksanaan wajib baca di sekolah favorit itu kini sudah lancar dan mantap.

Kebijakan Disdik juga menegaskan hubungan antara budaya membaca dan menulis.  Sejalan dengan tesis bahwa membaca memungkinkan orang mampu menulis dengan baik, maka Disdik juga ingin mewujudkan satu sekolah satu buku karya terbaik siswa. Ditargetkan bahwa setiap sekolah mampu mencetak satu buku sebagai hasil seleksi tulisan terbaik siswa.

Pembudayaan membaca saja membutuhkan tenaga dan biaya yang besar, apalagi pembudayaan menulis. Perlu ada pelatihan-pelatihan praktis yang secara cepat mampu membuat siswa SD, SMP, dan SMA/K mampu membaca dan menulis secara menyenangkan. Pelatihan itu juga perlu pendampingan yang terstruktur, terukur dan telaten, agar proses workshop yang dijalani siswa menghasilkan produk literasi yang diinginkan. Belum lagi tenaga dan biaya yang disedot untuk penyuntingan dan seterusnya hingga percetakan buku, pastilah tidak sedikit.

Pekerjaan besar inilah yang mendorong Disdik untuk mengambil kebijakan membentuk konsorsium gerakan literasi di sekolah. Konsorsium bersama inilah yang agaknya bakal merencanakan, mengkoordinasikan, mengimplementasikan, dan memonitor pelaksanaan budaya literasi di sekolah di berbagai jenjang—berarti meliputi ratusan sekolah yang tersebar di seluruh penjuru kota Surabaya.

Dalam hal ini, untuk menyukseskan program tersebut, Disdik Surabaya mengajak penerbit buku untuk menyumbangkan beberapa (judul) buku untuk dicetak dan dibagikan secara gratis ke sekolah. Artinya, penerbit buku diminta karitas sosialnya untuk ikut mencerdaskan bangsa, khususnya siswa sekolah di Surabaya. Mengapa harus demikian? Bisa dihitung, dalam sebulan, diperlukan ribuan buku sebagai bahan bacaan siswa—mulai buku yang cocok untuk siswa SD hingga buku untuk SMA/K.

Sebagai tambahan, program Surabaya Kota Literasi juga diharapkan bisa mendorong perusahaan dan lembaga swasta untuk membagikan buku bacaan ke sekolah. Apapun buku bacaan yang mereka sumbangkan akan dimanfaatkan sebagai sumber ilmu yang bermafaat bagi pembacanya. Dengan demikian, pencerdasan bangsa menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya sekolah melainkan juga pemerintah, orangtua, dan lembaga swasta.***

Surabaya, 20/9/2014

Sumber ilustrasi: http://barpussby.wordpress.com/2014/05/24/kegiatan-badan-arsip-dan-perpustakaan-kota-surabaya-festival-budaya-pustaka-dan-peringatan-hari-buku/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline